"Ah, ah, ah, hen-henti—"
Teriakan dan rontaan mengiringi malam yang kian pekat, memeluk tubuh-tubuh peminta kepuasan. Sebagian wanita telah pasrah ketika tubuh mereka didorong ke dipan, daripada berontak tanpa hasil, jauh lebih baik berlaku bak gedebong pisang. Sakit pun berkurang banyak. Tapi, bagi sebagian besar, perlakuan tentara-tentara Jepang itu tidak bisa mereka terima.
"Tidak mau! Tidak mau! Bapakkk ... tolong!" Teriakan meminta tolong masih lantang dilantunkan. Berharap dengan memanggil sambil menangis pilu, sosok pria yang selalu menjaganya itu bisa muncul dan menghentikan ketiga orang yang kini memegangi tubuhnya.
Tamparan keras mendarat di pipi, perlawanannya sia-sia ketika kakinya dibuka paksa oleh dua orang yang lain. Air mata mengaburkan pandangan, tapi dia masih bisa melihat ketika pria yang sedang berlutut di antara kakinya melesakkan kejantanannya. Teriakannya semakin membahana.
Suara tawa dan bahasa yang tidak dia mengerti mengiringi tiap sodokan yang dipaksakan pada kemaluannya yang sudah lecet dan bengkak. Teriakannya kembali meninggi saat salah satu dari mereka mengigit puting susunya.
Dirinya hanya dapat berteriak di saat ketiga orang itu bergiliran memperkosanya. Ketika mereka telah selesai mencurahkan cairan lengket menjijikkan pada tubuhnya, bukan berarti itu adalah akhir dari siksaannya.
Di depan pintu kamarnya, berpuluh-puluh pria lain telah berbaris, menunggu giliran untuk menodainya.
.
.
.
Wanda tidak pernah bisa menolaknya.
Sejak awal tangan besar itu menyentuh tubuhnya, ia hanya bisa mendesah pasrah. Ciuman dan desakan lidah kompeni itu membuat Wanda mengerang. Tangan kokoh meremas bokongnya, mendorong pinggul Wanda untuk menempel erat pada benda yang mulai mengeras di balik celana milik pria dalam pelukannya. Tekanan itu semakin kuat, dan gesekan terhalang lembar kain itu membuatnya mulai lupa pada keadaan di sekelilingnya.
Evans mengusap bibir Wanda yang kini membengkak dan memerah. Pelan dan hati-hati, Evans kembali mengecup lembut bibir bengkak itu. Tangannya mulai membelai pundak Wanda hingga menyentuh pergelangannya, lalu menuntun tangan pucat berjemari lentik pada gundukan di selangkangan.
Tanpa diminta, pria cantik itu mengerti. Pria pribumi yang telah menyelamatkan hidupnya itu menekuk lutut, membuka kancing celananya. Jilatan hangat dan basah membuat Evans mengerang dalam. Desakan pelampiasan membuatnya mendorong penisnya masuk ke dalam mulut hangat Wanda dengan kasar.
Wanda mengeluarkan suara bagai tersedak. Penis tebal Evans mendesak masuk hingga membentur pangkal tenggorokan Wanda. Air mata mengancam jatuh dari ujung mata, tapi dia tetap pasrah menerima gempuran Evans.
Mungkin Wanda sudah gila, rasa enggan dan malunya telah terkikis habis oleh nikmat tabu berlabel cinta dari hubungannya dengan sesama pria. Walau tenggorokannya tersiksa dan bau maskulin dari precum menyerang indra, tubuh Wanda memberikan reaksi mengejutkan. Penisnya semakin menegang, tangannya bergerak meremas penisnya sendiri yang telah mengeras sempurna. Sebelah tangannya yang bebas mulai ikut menekan pinggul Evans untuk memasukinya lebih dalam. Jika bisa, Wanda ingin menelan keseluruhan pria ini ke dalam mulutnya, seolah dengan melakukan hal ini bisa menelan habis nuraninya yang mulai berontak.
Penis dalam mulut Wanda berkedut dan semakin membesar. Kala ia bersiap untuk mendapat semburan mani, Evans malah mengeluarkan penisnya secara tiba-tiba. Kecewa mendera. Namun, senyum Wanda merekah ketika dillihatnya pancaran nafsu semakin pekat di mata biru Evans.
Wanda membiarkan Evans mengangkat dan membalik tubuhnya hingga menempel pada pintu kayu yang menjadi pembatas antara mereka dengan dunia di luar sana. Pintu kayu yang menjadi batas suci antara surga dan neraka.
YOU ARE READING
Butterfly Effect
RandomKonten dewasa 21+ Mini Event Team : D Tema : Sekretaris Finalis Tema : Jugun Ianfu