Deja Vu 5

394 9 1
                                    

" ... Gah."

Jika saja bukan karena suara yang begitu Gagah hafal, dia tidak akan mengenali wanita yang memanggilnya dari pinggir jalan. Gagah baru saja selesai mengantarkan minyak tanah pada toko Wak Abdul ketika wanita itu memanggilnya.

Pakaian goni yang wanita itu kenakan telah berlubang di beberapa bagian, pipinya cekung, debu jalanan dan matahari telah membuat kulitnya kusam, bibirnya kering hingga melihatnya saja Gagah menjadi kehausan dan keadaan tubuh kurus kerempeng wanita itu tidak sejalan dengan perut yang membuncit. Jika saja wanita itu tidak memanggilnya, Gagah akan menyangka wanita itu adalah pengemis dan melewatinya sambil lalu.

"... Kak Mora?" tanya Gagah tidak percaya.

Hari itu orang tuanya kembali menyambut anak perempuan mereka. Bukan gembira yang dirasakan saat melihat anak sulung yang telah setahun pergi merantau bersama suaminya kembali hanya dengan tulang berbalut kulit.

Mamak yang biasa cerewet hari itu mengatup erat bibirnya ketika membasuh tubuh anak perempuannya. Bapaknya yang biasa berkata lantang itu hanya bisa tergugu memeluk anaknya yang malang.

Amarah mereka awalnya tertuju pada suami Mora. Suami macam apa yang meninggalkan istrinya hingga terlunta-lunta dalam keadaan hamil? Bapaknya telah mengeluarkan parang, siap mencari dan tarung sampai mati dengan suami Mora.

Tapi, cerita yang lebih menyayat terlontar dari mulut kakaknya. Tentang suaminya yang mati di ujung bayonet tentara Jepang sebelum mereka bisa pergi ke tujuan, tentang dirinya yang dipaksa menjadi sundal bagi orang-orang yang menertawakan kematian suaminya dan tentang dirinya yang dibuang ketika pemilik tempat pelacuran itu tidak berhasil menggugurkan kandungannya.

Kuping Gagah panas, dadanya sesak tertekan amarah. Geram tangis disertai cacian mengumandang malam itu dari Bonar pada orang-orang yang mencelakai putrinya.

Bonar dan istrinya bahkan tidak menunjukkan sedikit pun penolakan ketika putri mereka memberitahukan niatnya untuk menggugurkan janin dalam perutnya. Bagaimana mereka akan meminta sang putri untuk tetap melahirkan bayi yang akan menjadi pengingat kenangan kelam dalam hidupnya?

Maka dengan kedua tangan sendiri mereka mengantar sang putri pada bidan untuk membunuh bayi itu sebelum bertambah besar.

"Mora meninggal. Jamu-jamuan yang dia minum sebelumnya telah membunuh sang janin. Namun, janin yang tidak keluar sebagaimana mestinya, telah membusuk dalam perut Mora. Karena itu, dia tidak selamat."

Itu awal timbulnya kebencian di hati Gagah pada Jepang.

.

.

.

"Kita serang malam ini," ucap Gagah.

Kasak kusuk terdengar dari para lelaki yang membawa cangkul dan caping di tangan. Ucapan dari pria dengan kumis seperti ijuk itu mengirim rasa getar takut di tubuh mereka. Penyerangan pada tempat berkumpul serdadu Jepang itu membuat mereka meragu. Seumur hidup, mereka telah terbiasa tunduk pada penguasa. Mereka selalu menurut walau memaki dalam hari ketika penjajah-penjajah itu melakukan hal semena-mena pada mereka.

Pergantian penjajah dari londo ke nihonggo, tidak serta merta membuat mereka berani. Apalagi dengan sepak terjang dan kekejaman tentara-tentara.

"Tapi, Gah—

"Poltak!" potong Gagah.

"Iya, Poltak." Abdul mendengkus, orang mana yang akan tertipu dengan kumis ijuk yang digunakan Gagah? Sekali lihat, orang-orang yang mengenal anak lelaki boru Ginting itu akan langsung mengenalinya. "Jepang punya bedil, belum sempat kita bacok mereka, mati duluan lah kita." Lelaki dengan kolor hitam dan kaki pincang berbicara menyuarakan kekhawatirannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 22, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Butterfly Effect Where stories live. Discover now