After Effect

806 17 2
                                    

Berbaring gusar di atas ranjang lebar di hotel, Evans sama sekali tidak memiliki keluhan dengan hotel pilihan sekretarisnya ini. Memang bukan hotel mewah sekelas JW Meriot, tetapi Hotel Miyama ini letaknya sangat strategis. Sangat dekat dengan kompleks perumahan mewah Cemara Asli, juga sangat dekat dengan akses jalan tol yang pastinya mempermudah proses pekerjaan mereka yang sedang mengurus proyek yang berhubungan dengan jalan tol. Begitulah Wanda, selalu bisa mementingkan detail mengenai pekerjaan dibanding memanja diri.

Kegusaran Evans tak lain karena dirinya sendiri.

Semua ini memang bermula dari dirinya sendiri.

Wanda Arif Utama. Tiga tahun yang lalu pertama kali mereka bertemu. Wanda menjadi sekretaris Evans menggantikan Niken yang lebih memilih menjadi ibu rumah tangga biasa setelah menikah dengan pegawai negeri yang memiliki jabatan yang cukup lumayan di BUMN.

Jujur saja. Untuk ukuran seorang pria, Wanda sama sekali tidak memancarkan aura maskulin. Tubuhnya tinggi ramping, kulit bersih dan wajah yang menurut para perempuan sangat tampan, tapi di mata Evans, wajah Wanda termasuk tipe cantik. Yang paling menarik perhatian Evans adalah bibirnya yang berwarna merah segar, terlihat begitu menggoda untuk dikulum.

Sejak SMA, Evans sudah dikirim ke benua Amerika untuk melanjutkan pendidikan. Pergaulan dan pola pikir Evans sudah sangat terpengaruh orang barat sana. Perihal orientasi seksual, berkat teman-temannya, Evans menyadari kalau dia biseksual. Melihat ada mangsa di depan mata, mana mungkin Evans mau membiarkannya lolos begitu saja.

Berbagai cara Evans lakukan untuk menaklukkan Wanda. Sayangnya, Wanda adalah jenis manusia yang sangat serius. Fokus utama Wanda hanya bekerja dan bekerja, apalagi setelah melakukan kesalahan kecil yang cukup fatal. Sama seperti yang terjadi sekarang, Wanda luput memasukkan nama perwakilan dari perusahaan yang akan diajak menjadi mitra. Waktu itu Wanda masih pemula, dan karena Evans sedang mengincarnya untuk ditiduri, Evans tidak mempermasalahkan kesalahan Wanda—tidak dibesar-besarkan seperti sekarang.

Masih Evans ingat dengan jelas sensasi luar biasa puas yang dirasakan setelah akhirnya berhasil meniduri Wanda, juga bagaimana ekspresi Wanda saat terbangun di pagi hari dengan tubuh dipenuhi bercak merah yang sengaja dibuat Evans. Wanda benar-benar terlihat seperti anak gadis yang keperawanannya direnggut paksa. Matanya berkaca-kaca, namun, harga dirinya sebagai pria membuatnya sekuat tenaga menahan air mata agar tidak mengalir.

Evans tahu, sebagai tulang punggung keluarga, Wanda sangat membutuhkan biaya. Sejak awal, demi memperlancar niatnya, dia sudah memasang perangkap dengan memberi gaji yang luar biasa tinggi untuk Wanda. Jika Wanda berniat berhenti, dia pasti harus berpikir seribu kali, di mana lagi dia bisa mendapat pekerjaan dengan gaji setinggi yang dia dapatkan sekarang.

Jadi, meskipun ditiduri paksa oleh Evans, Wanda tetap menguatkan hati untuk terus menjadi sekretaris Evans sembari meningkatkan kewaspadaan agar tidak terulang kembali.

Naifnya pemikiran Wanda. Kalau ada kali pertama, tentu akan ada kali kedua.

Jika yang pertama kali adalah Wanda yang sengaja dibuat mabuk oleh Evans, kali kedua adalah Evans yang mabuk dan kembali memaksa meniduri Wanda yang kalah tenaga.

Di tengah sakit kepala akut akibat hangover, Evans melihat Wanda yang menatapnya tajam, mempertanyakan alasan Evans melecehkannya lewat sorot mata penuh luka. Anehnya, dia tidak meninggalkan Evans begitu saja, malah merawat Evans yang kembali muntah-muntah.

Sikap Wanda diartikan Evans sebagai persetujuan. Sejak itu, setiap kali dinas luar, mereka pasti tidur bersama. Wanda yang awalnya enggan, lama-lama terbiasa dan tak lagi menolak. Intensitas kebersamaan pun meningkat. Tidak perlu menunggu hingga ada dinas luar untuk bisa tidur bersama, tiap akhir pekan mereka habiskan di kamar hotel. Bahkan, beberapa kali Evans memaksa Wanda melakukan seks di kantor, pada jam kerja.

Butterfly Effect Where stories live. Discover now