Sekretaris 2

2.1K 24 11
                                    

Sejak bangun tidur pagi ini Ben sudah merasa risau. Bayangkan, ia terbangun dengan tangan memegang alat kelaminnya sendiri yang menonjol dari balik celana tidurnya. Ia berani sumpah demi motor bebek kesayangannya yang diparkir di halaman, ia tak mimpi aneh-aneh semalam.

Lama ia termenung di kasur menekuri tonjolan di celananya itu. Ingatannya samar, tapi di antara kilasan mimpinya ia melihat selang pom bensin. Makin ia berusaha mengingat makin besar tonjolan itu. Karena takut ibunya tiba-tiba masuk dan memergoki anak lajangnya melamun menatap alat kelamin sendiri. Ben pun menganggap mimpi itu angin lalu.

Hari itu ia jalani seperti biasanya.

Sepulang sekolah Ben dihadiahi setumpuk kertas oleh Arkan si Ketua Osis. Ia diminta memfotokopi semua soal latihan, kisi-kisi dan agenda kelas semester ini untuk rapat antar kelas nanti. 

Saat Ben memintanya untuk ikut, dengan santainya Arkan menjawab, "Kita jangan terlalu sering bareng. Nanti ada fitnah lagi."

Ingin sekali rasanya Ben menggaruk muka datar dengan mata yang selalu mengantuk itu dengan gergaji mesin.

Memangnya salah siapa kalau mereka digosipkan homo? Bukan Ben yang bilang di depan orang banyak kalau dia membutuhkan Ben dan sudah terlanjur menyimpan banyak rasa untuk mundur. Meski sampai lebaran monyet pun mereka mengelak tak akan ada yang percaya kalau hubungan mereka hanya sebatas teman. Untung saja pihak sekolah memutuskan tutup kuping, kalau tidak entah bagaimana ia harus menjelaskan pada ibunya.

Dasar sialan! Meski dengan kata-kata romantisnya, sekarang tetap saja Ben sendirian melakukan tugas sekolahnya. Ben hanya bisa mengumpat dalam hati.

Teriknya matahari seakan ikut mengompori panasnya hati Ben siang itu. Memang ini sudah tugasnya sehari-hari, tapi entah setan sial mana yang menempel padanya. Mesin fotokopi sekolah yang sudah rusak sejak bulan lalu belum juga diperbaiki.  Sejak sepulang sekolah tadi ia sudah mendatangi tiga belas tempat fotokopi dan selalu saja bermasalah. Beberapa bilang mesinnya sedang rusak, ada juga yang tutup, parahnya ada lagi yang bilang tidak bisa menerima fotokopi karena kucingnya mau melahirkan.

Akhirnya, jadilah di siang hari sepanas ini Ben berkeliling kota dengan Astuti, motor bebek jadul kebanggaannya yang sudah bisa dikategorikan barang langka. Dengan kepala sibuk menoleh ke kiri dan kanan Ben memeriksa deretan ruko di sepanjang jalan Jamin Ginting, mencari tempat fotokopi yang mau berbaik hati menerima kertas-kertas yang menumpuk dalam tasnya.

Tak hanya panas yang membuat Ben lelah. Kaki dan tangannya juga sudah terasa licin. Belum lagi kepalanya yang tak henti berdenyut sejak pagi. Padahal ia sudah makan semangkok mie ayam sebelum pergi, jadi tak mungkin karena ia lapar kepalanya sakit.

Nyaris putus asa, Ben hendak menghentikan motornya. Belum sempat berhenti di tempat aman, Astuti sudah menyerah duluan. Suara mesinnya menderu tak karuan, asap hitam keluar dari knalpotnya. Ben buru-buru mematikan mesin dan turun dari motornya. Setelah menurunkan standar motor, Ben membungkuk memeriksa mesin motornya. Asap mengepul keluar membuatnya terbatuk-batuk. Ia merasa bersalah sudah memaksa Astuti berkeliling lama di cuaca seterik ini sampai membuat mesinnya kacau.

Motornya ini sudah seperti kawan seperjuangan baginya, kawan yang jauh lebih setia dibanding si Arkan kampret. Melihat kawannya menderita begini, hatinya ikut risau juga.

Dengan perasaan bingung, Ben mendorong Astuti sambil mencari-cari bengkel. Ia menunda sebentar tugas sekretarisnya yang menumpuk. Sekarang yang penting Astuti dulu.

Tak jauh dari tempatnya berdiri ada pom bensin yang nampaknya sepi. Ben memutuskan untuk ke sana dulu meletakkan Astuti baru mencari bengkel untuk diminta tolong ke pom bensin.

Butterfly Effect Where stories live. Discover now