Sekretaris 4

2.2K 13 17
                                    

Sepasang kaki kotor berdebu itu berselonjor di emperan toko. Tangannya sibuk mengipas dengan kardus bekas di sampingnya. Tengah malam pasti sudah lewat, kendaraan yang lalu-lalang makin jarang. Bahkan sudah hampir satu jam, hanya beberapa yang lewat.

Bagus membayangkan rumahnya di kampung. Kasur tipis usang di sana masih lebih nyaman daripada semen keras dan kain buruk yang jadi alas tidurnya. Kipas angin yang bunyinya mirip mesin kapal itu pun masih mampu menyenyakkan tidurnya daripada panasnya udara malam di kota Medan ini.

Dia mengusap wajahnya kasar. Rupanya berkhayal butuh tenaga juga, buktinya, kini dia mulai mengantuk. Saat hendak merebahkan tubuh, ujung matanya menangkap gerakan seseorang yang tengah berjalan. Buru-buru ia bangkit dan menatap awas. Bukan hanya takut dipalak, dia juga takut orang gila. Di kota Medan ini, orang stress tak terhitung jumlahnya, mereka yang dibiarkan berkeliaran sambil cengengesan juga tak sedikit.

Namanya saja orang gila, kalaupun Bagus dibunuhnya, tak akan ada yang bisa menuntutnya.

Jalan yang minim pencahayaan membuatnya kesulitan menangkap sosok yang tengah berjalan. Saat sosok itu mencapai jarak pandangnya, dia mendapati seorang pria dengan kemeja dan celana kantoran tengah berjalan sambil menunduk. Rambutnya panjang dan diikat di belakang.

Bagus pun bernapas lega. Mungkin hanya karyawan yang baru pulang kerja.

Eh, tapi di sekitar sini kan tidak ada perumahan atau tempat indekos? Lagipula, apa ada perusahaan yang mau memperkerjakan pegawai pria berambut panjang?

Tiba-tiba pria itu mengangkat kepalanya. Karena Bagus sedang mengamatinya, mereka pun beradu pandang. Pria itu mengangguk sambil tersenyum pada Bagus. Pemuda itu sampai lupa membalas senyum saking terkejutnya. Jarang orang yang mau tersenyum pada orang asing sekarang, apalagi pada gelandangan.

Melihat Bagus yang diam saja pria itu pun menghampirinya. Di punggungnya sebuah tas ransel besar menggantung.

"Numpang duduk ya, Bang," kata Pria itu ramah, berniat meletakkan bokongnya di samping Bagus.

"Duduk saja, Bang," jawab Bagus, padahal dia bukan pemilik emperan, buat apa minta izin padanya.

Hanya itu percakapan mereka. Selanjutnya pria itu hanya duduk sambil melepas tas ranselnya. Sesekali dia menoleh ke arah Bagus yang pura-pura tidak melihat. Karena bingung pemuda itu pun membaringkan tubuhnya membelakangi pria itu.

"Duh, maaf ya, Bang. Saya ganggu nih," kata pria itu. Nada bicaranya sopan, tidak sekasar cara bicara yang sehari-hari akrab di telinga Bagus.

"Santai lah, Bang," ujar Bagus tanpa menoleh. Berusaha memejamkan mata, kantuknya sudah hilang ternyata. Namun, esok hari dia masih ada misi yang harus dijalankan, maka matanya dipaksakan untuk tetap terpejam.

Belum lima menit, tiba-tiba Bagus tersentak. Dia bangun dan mendapati pria itu masih di sana, sedang membuka tas ranselnya. Tak lama suara keras dari perut Bagus terdengar. Cacingnya demo minta diberi makan.

Tanpa Bagus sangka pria di sebelahnya menyodorkan sepotong roti padanya. Bagus bergantian menatap roti dan wajah pria itu.

"Makan dulu, Bang. Tidur gak nyenyak kalau perut lapar."

Malu-malu, diterima juga roti yang rasanya gurih dan empuk itu. Dari pemberian kecil yang diterima Bagus itu mereka akhirnya banyak mengobrol. Pria itu bernama Danu, ia bekerja sebagai salesman keliling, menjajakan cairan pembersih WC. Pantas saja tas ranselnya terlihat berat.

"Terus ini mau ke mana rencananya?" tanya Bagus sambil menelan sobekan roti terakhirnya.

"Enggak tahu. Saya terlalu lelah berjalan, sampai ketiduran di angkot dan salah turun di sini. Mau balik juga sudah gak ada lagi angkot yang lewat. Besok sajalah dipikirkan mau ke mana."

Butterfly Effect Where stories live. Discover now