Deja Vu 4

278 7 2
                                    

Ditemani nyanyian jangkrik dan gigitan-gigitan nyamuk yang kelaparan, Bagus duduk bersandar pada dinding bangunan yang sudah beberapa bulan menjadi rumah barunya. Setiap sore menjelang malam dan sebelum lelaki-lelaki yang membawa senjata itu berdatangan, Bagus pasti diusir dari rumah. Bagus dilarang masuk kecuali dipanggil. Ibunya berada di balik dinding tempatnya bersandar, melayani prajurit-prajurit yang penuh keringat.

"Engh ... engh ...."

Bagus mendongak ke atas, ke jendela di atas kepalanya. Padahal jendelanya sudah ditutup, tetapi suara itu tetap saja terdengar.

"Ah. Ah. Yang cepat, Nihongo-san."

Suara ibunya yang centil itu membuat pipinya panas dan semakin lama mendengar suara desahan serta erangan, rasa panas itu makin menjalar ke ubun-ubun. Bagus menendang kerikil di kakinya dengan keras, melemparkan kerikil itu ke semak-semak. Dia ingin segera pergi dari sana walau di rumah barunya itu banyak makanan enak yang tidak bisa dia makan sewaktu di kampung.

Suara di dalam semakin keras dan ramai. Bagus naik ke atas batu besar yang tadi didudukinya, lalu berusaha membuka jendela. Jendela di kamar ibunya tidak pernah dikunci karena daun jendelanya tidak mau menutup dengan rapat. Tangan kecilnya sedikit kesulitan ketika berusaha menarik jendela yang rusak itu. Ketika sudah berhasil dibuka, dia melebarkannya sedikit lalu berjinjit di atas batu, berusaha melihat apa yang dilakukan ibunya dengan Nihongo-san.

Bagus mencebik saat melihat beberapa laki-laki menggumuli tubuh ibunya. Wajah mereka terlihat menjijikkan. Bagus tak ingin melihat wajah ibunya. Baginya ibu tetap malaikat. Ibunya melakukan semua ini demi dirinya.

Melihat pantat tentara yang sedang menindih ibunya membuat Bagus gemas dan sifat jahilnya muncul. Dia pun turun dari batu, memungut beberapa kerikil besar lalu mengambil ketapel buatan sendiri dari balik bajunya sebelum kembali naik batu dan berjinjit di sana. Memfokuskan matanya pada target, dia mengarahkan senjata kecilnya ke sana, lalu melepaskan kerikil dari ketapelnya.

Prajurit yang masih bergerak di atas Mila berjengit dan mendesis sebentar, sengatan di pantat kirinya menghentikan kegiatannya namun hanya sejenak. Milah kembali menggoyangkan tubuh bagian bawahnya, mengundang erangan nafsu si prajurit dengan lenguhan manjanya.

Bagus kembali mengarahkan ketapelnya ke pantat si prajurit. Menarik karet pada ketapelnya dengan sekuat tenaga sampai tarikan maksimal, Bagus melepaskan batu itu. Alam semesta sedang berpihak padanya. Bukan lagi pantat si prajurit yang kena, melainkan buah zakarnya yang bergelayut di antara kedua pahanya yang sedang terbuka lebar. Dan tentu saja si prajurit bukan hanya mengernyit atau mendesis kesakitan, kali ini dia sampai menjerit layaknya babi yang mau disembelih.

Bagus terjatuh dari batu, antara kaget akan perbuatannya sendiri dan buru-buru ingin pergi dari sana. Tidak ada yang tahu apa yang akan si prajurit lakukan pada anak kecil jatuh itu.

Awalnya Bagus memang ketakutan, tetapi ketika dia berlari semakin menjauhi rumah, senyum mulai mengembang di mulutnya lalu dia tertawa.

***

Sambil berlari, ingatan Bagus kembali ke waktu bagaimana dia bisa tiba di tempat ini.

"Ayo, Bagus. Cepat. Nanti kita ketinggalan." Milah, sambil membawa bungkusan dari sarung sebagai tas, berjalan cepat setengah berlari. Sesekali melirik putranya yang masih berusia enam tahun, berjalan di belakang, dan meneriakinya agar anaknya yang bernama Bagus segera menyusulnya tanpa dia mau menunggu.

Bagus sudah berlari, berusaha menyamai langkah-langkah lebar ibunya namun kaki kecil dan pendeknya selalu membuatnya tertinggal kembali. Kedua tangannya memeluk bungkusan dari kain, serupa dengan sang ibu, membuatnya semakin kesulitan bergerak.

Butterfly Effect Where stories live. Discover now