Bagian 6

334 70 4
                                    


A/N : Hey guys~ sudah dengar cover OST Sotus S dari Asmi Nurais? Bisa banget jadi lagu-nya ff ini (lah, emang tentang Sotus, pan?) *Tetiba promosi cover lagu orang* Anyay, maaf agak pendek untuk bagian ini, dan bye-bye for real buat beberapa bulan ke depan ya! *hugs and kisses*

****

Dia tidak bisa konsentrasi sejak kejadian malam itu, meski di pagi harinya senyum merekah di wajah kakak dan kakak iparnya. Apa-apaan mereka? Semudah itu bertengkar dan kembali mesra lagi. Kongphob tidak tahan dengan kefanaan mereka. Jika itu yang namanya cinta, Kongphob tidak mau cintanya diberikan pada orang lain!

Tapi kan, ada Kak Arthit yang sudah ia rasa sebagai orang yang spesial.

Ahhh! Tidak seharusnya dia pusing soal hal seperti ini! Kongphob ingin sekali seperti dulu, dimana pikirannya hanya dipenuhi keinginannya membahagiakan orang tua, medapatkan nilai bagus, dan menghabiskan waktunya di perpus supaya ia cepat mengerti pelajaran yang diterimanya. Tapi semua itu jadi kacau!

..kacau karena Kak Arthit?

Kongphob tidak mau mengaku. Tapi bisa juga pikirannya kacau karena kakaknya. Jika saja ia kurang sayang pada keponakannya itu, ia tidak perlu kembali ke rumah. Ke tempat yang ada mereka berdua.

Pikirannya masih belum terkumpul semua saat Kak Arthit datang ke tempat kostnya, menepati janji untuk membantunya belajar. Tepat beberapa menit sesudah ia mendapat kabar bahwa Kakak pertamanya bertengkar lagi dengan suami, dan mengumbar kata 'cerai'.

Kongphob benci hal seperti ini.

"-Jadi kita bisa simpulkan bahwa X itu bernilai 4. Lalu kita masukkan nilai itu pada formula yang ini, kemudian.." suara Kak Arthit perlahan menghilang. Kongphob menengadahkan kepala, memandang seniornya yang duduk di samping dengan pensil di jemari.

"Kak Arthit?"

"..Seriously Kongphob. Kalau kamu emang nggak fokus untuk belajar sekarang, ya lebih baik jangan belajar yang ini." Kata Kak Arthit dengan kerutan di kening.

Ah. Ketahuan.

Kak Arthit meletakkan pensilnya dan menarik napas dalam. Ia regangkan kakinya yang bersentuhan dengan paha Kongphob dan memposisikan diri dengan santai. "Kamu kenapa sih? Kemarin juga aku lihat kamu loh di kantin. Tapi kamu ngeloyor aja gitu pergi."

Kongphob harus mengaku bahwa ada rasa senang karena Kak Arthit memperhatikannya. Tapi rasa senang itu langsung berubah pahit saat mengingat apa yang sedang dihadapi.

Memangnya, perasaannya ke Kak Arthit bisa menyelesaikan apa? Malah menambah masalah baru. Ia bahkan belum memikirkan apa yang menjadi konsekuensi dan apa yang akan dihadapi kalau ia benar-benar suka dengan seniornya itu.

..otaknya terlalu kacau untuk berpikir jernih.

"Kong..?" entah kenapa suara pelan Kak Arthit yang jelas-jelas menampakkan wajah khawatir untuknya terdengar begitu merdu. Ia merasa perlu untuk dekat dengan Kak Arthit.

Jika Kongphob bisa berhenti merasa sebentar saja, mungkin pikirannya akan menahannya untuk melakukan hal gila. Tapi rasa itu ada, dan terlalu berat untuknya.

"..Kak Arthit.." ia membuka suara. Ia yakin suaranya terdengar parau dan tidak biasa, karena seniornya itu mengerutkan kening lebih dalam. "Kalau.. aku bilang aku suka kakak, gimana?"

..tidak ada reaksi.

Wajah Kak Arthit kosong tanpa ekspresi. Kongphob mulai merutuk dalam hati, pikirannya mulai fokus kembali.

Tiba-tiba Kak Arthit mengambil jaket yang ia lemparkan ke ranjang dan beringsut pergi. Serta merta Kongphob menahannya, menggenggam erat lengan seniornya itu.

"Sorry." Ia meminta maaf, memohon ampun pada Kak Arthit. "Cuma bercanda.. jangan dimasukkin ke hati, Kak Arthit. Sumpah.."

Ia tidak berani mendongakkan kepala. Ia bahkan tidak tahu ia menundukkan kepalanya itu saat memohon Kak Arthit untuk tetap tinggal. "Please.. lanjut ajarin aku."

Kongphob tidak tahu berapa lama mereka berada di posisi itu. Yang ia tahu, akhirnya Kak Arthit mau juga untuk meletakkan jaketnya dan duduk kembali di sebelahnya. Meski tanpa bersuara.

Suara jam di meja belajarnya terdengar begitu nyaring, tapi Kongphob tidak berani menjadi orang pertama yang membuka suara. Ia hanya duduk menunduk, menunggu Kak Arthit melakukan sesuatu.

Ada gerakan di sebelahnya. Kak Arthit mengambil lagi pensil yang ada di meja. "..Jadi kalau kita mau pakai formula ini.."

Kongphob membuang napas lega. Rasanya belenggu yang ada di hatinya sirna.

Oke. Seperti ini juga tidak apa-apa. Begitu Kongphob berusaha meneguhkan hati.

Tapi ternyata rasa lega itu hanya berlangsung singkat. Karena Kak Arthit berhenti mengajarinya lagi.

"Kak.."

"Kamu kenapa sih, Kong?! Apa sebegitu rahasianya sampai nggak mau cerita?" ada nada marah saat Kak Arthit bertanya. Matanya menusuk memandang Kongphob, yang kemudian menunduk lagi. Kedua tangannya lalu mencengkram lutut, merasa tidak berdaya dan marah. Badannya gemetar karena belenggu lain yang di hatinya mengikat lebih kuat.

"..mereka mungkin akan cerai." Kata Kongphob serak.

"Hah?"

Kongphob menutup mata. "Kak Suda dan Kak Ohm.. mungkin mereka akan cerai. Akhirnya."

"Kak.. Kong!" Kak Arthit juga sepertinya kehabisan kata-kata. Namun, tak lama setelah itu ada sentuhan yang kaku namun lembut mendarat di lengan Kongphob. "Kong.."

Ketika Kongphob memberanikan diri menatap orang di sebelahnya, raut Kak Arthit menghentikan napas. Simpati, dan khawatir. Kongphob menahan diri.

"Maaf.. aku kayaknya terlalu sensitif ya? Padahal itu semua bukan urusanku. Harusnya-"

"Kong." Panggilan itu menghentikannya menyalahkan diri. Yang selanjutnya terjadi mengagetkannya; Kak Arthit memeluknya erat, membiarkannya membenamkan kepala di pundak.

Hangat.

..dan air mata yang selama ini disimpan oleh Kongphob pun pecah.

Kongphob yakin mereka terus di posisi itu untuk waktu yang lama. Tapi saat ini, Kongphob tidak peduli.

****

[BAHASA] Bukan Logika - FanfiksiWhere stories live. Discover now