Bagian 8

349 68 19
                                    


Padahal, Kongphob ingin Kak Arthit bisa mengantarnya dengan senyuman, meringankan rasa berat di hati karena menginggalkannya. Tapi sepertinya memang mustahil, karena hari berganti hari, amarah Kak Arthit belum juga mereda. Kakaknya itu bahkan membuang muka saat bertemu di koridor kampus, seakan-akan tidak melihatnya.

Hari keberangkatan pun tiba juga, dengan langit yang muram dan suhunya yang dingin, seperti perasaan Kongphob saat ini. Kemarin malam teman-temannya mengadakan pesta perpisahan kecil-kecilan, tidak tahu malu meminta untuk dibelikan oleh-oleh dan bahkan nomor cewek cantik di sana. Siang ini ia edarkan pandangannya pada kamar kost yang akan ditinggalkannya selama berbulan-bulan itu untuk terakhir kali, karena ia janji untuk makan siang dengan ayahnya.

Layar handphone-nya yang ada di atas meja belajar masih menunjukkan tidak ada pesan atau misscall baru.

Fine. Kongphob membiarkan mulutnya mengerucut. Kalau Kak Arthit mau berlaku seperti ini, Kongphob juga tidak akan menghubungi Kak Arthit!

..tapi tetap saja sakit hati.

Ia pergi membawa kopernya, menaiki mobil yang akan membawanya untuk makan siang bersama sang ayah. Mama dan Rin sudah pergi sejak minggu lalu, dan Kongphob sedang tidak mood untuk menanyakan kabar Kak Suda dan Kak Ohm.

Mereka makan dalam diam. Kongphob dan ayahnya memang punya kebiasaan seperti ini, tidak bersuara saat makan. Cuma dengan Kak Arthit ia membiarkan dirinya berbicara saat makan, mengomentari celotehan Kak Arthit yang seakan tidak ada habisnya.

Ugh. Kak Arthit lagi.

"Sudah semua dibawa kan?" Papa bertanya sesudah makan. Ia menyeruput tehnya dengan perlahan. Kongphob mengangguk.

"Papa sudah bicara dengan Om Park Jun. Dia bilang kamu boleh kapan aja main ke kantornya. Nanti kalau dia tidak sempat, karyawannya yang akan mengantar." Info ini bukan hal baru yang didengar Kongphob, tapi ia tetap mengangguk mendengarkan. "Dia juga bilang nanti anaknya bisa mengajakmu jalan-jalan saat waktumu kosong."

Kongphob terkejut mendengar yang terakhir. "Nggak perlu, Pa." Ia menggelengkan kepala. "Kan nanti mau pergi juga sama Kak Rose dan Mama. Rin pasti mau ke tempat-tempat wisata. Nggak enak."

"Papa juga sudah bilang. Tapi kamu juga tahu kan kalau Om itu menikah dengan Tante Mook?" di sini Papa meletakkan kembali cangkir ke tatakannya, sepertinya sudah berkali-kali membicarakan ini dengan Om Park Jun itu. "Anaknya itu seumuran denganmu. Tempatmu kuliah di sana sama dengannya. Jadi dia bisa mengantarmu kalau memang perlu. Anaknya sendiri yang berkeras."

"Papa sudah bicara dengannya?" mata Kongphob mengerjap, sedikit tidak percaya. Ayahnya mengangguk.

"Video call terakhir dengan Tantemu. Dia sedang datang berkunjung waktu itu. Anaknya sepertinya baik dan ramah. Park Bom, namanya."

"Park.. Bom."

"Jaga nanti sikapmu, ya. Bagaimana pun juga dia perempuan." Nasehat Papa ini merupakan kata-kata terakhirnya hari itu. Sepertinya ia merasa sudah terlalu banyak bicara. Kongphob hanya bisa mengangguk. Bingung.

Ia berusaha tidak ambil pusing dengan informasi baru yang ia terima dari ayahnya. Ada nomor baru di handphone-nya saat mereka berpisah, tentu nomor Park Bom itu. Ia juga berjanji untuk menghubunginya nanti.

Sekarang, ia sudah berkumpul dengan mahasiswa-mahasiswa lain yang juga akan berangkat ke Korea bersamanya. Hari sudah mulai malam. Pikirannya kembali pada Kak Arthit, yang mungkin sedang menghadiri pernikahan senior mereka.

Pasti Kak Arthit jadi lebih ganteng lagi. Kongphob membayangkan Kak Arthit yang mengenakan jas dengan keren. Ia juga pasti lebih rapi dari biasanya, mengatur agar rambutnya menjadi lebih stylish. Ada perasaan sakit di dada karena tidak bisa bertemu Kak Arthit untuk terakhir kali. Mood-nya menjadi bertambah buruk, sampai ia akhirnya memilih untuk duduk agak menjauh dari yang lain. Tidak mau ada yang terkena omongannya yang mungkin menjadi kasar karena perasaannya saat ini.

[BAHASA] Bukan Logika - FanfiksiWhere stories live. Discover now