"If it is logical, it's not love" - Tapan Ghosh, Faceless
----
Buat Kongphob, cerita romantis itu ya, hanya sekedar cerita saja. Ia bukanlah orang yang percaya bahwa dua orang yang bertemu, lalu jatuh cinta, kemudian mereka bersatu dan semuanya akan berakhir bahagia. Ia sudah melihat apa yang terjadi sesungguhnya, dan it's not as beautiful as they depicted it to be. Kak Suda, kakak pertamanya menikah karena cinta. Bagaikan sebuah klise, ia bertemu dengan suaminya di toko buku ketika hendak meraih buku yang sama. Mereka menjalin kasih dan menikah, tanpa persetujuan keluarga yang tulus. Bukan, bukan kisah klise lain dimana satu keluarga merasa bahwa mereka orang kaya dan yang lainnya miskin. Sumpah mati Kongphob bisa mengatakan bahwa bukan itulah yang terjadi. Kak Suda dan Kak Ohm, selama berpacaran sudah sering bertengkar. Adu mulut dan percekcokan mereka berlangsung hebat, sampai-sampai orang di sekitar mereka langsung pergi ketika mendengar suara mereka mulai meninggi.
Tapi mereka saling mencinta, begitu katanya.
Pertengkaran tidak berhenti bahkan ketika Rin sudah lahir. Kongphob sudah muak dengan omongan mesra dan rayuan gombal, yang bisa tiba-tiba berubah jadi desisan dan makian.
Jadi, Kongphob memilih untuk percaya pada logika. Perasaan tidak melulu bisa benar, yang bisa saja mengarahkannya pada hubungan yang meracuni dirinya. Tapi toh, perasaan itu juga yang mengantarkannya pada dilema. Karena ia bertemu dengan orang itu. Iya, senior yang bermuka galak, namun ketika tidak ada orang di sekitarnya, akan memasang tampang sedih dan kasihan, seakan ingin meminta maaf dan menarik lagi kata-kata yang dilontarkan mulutnya.
Semua bermula saat ia tertatih-tatih melewati jalanan kampus yang cukup sepi. Lampu jalan sudah mulai hidup dari satu jam yang lalu, dan dalam hati Kongphob merutuk karena ia belum bisa membawa motor kesayangannya. Samar-samar ia bisa melihat gedung yang pintunya terbuka lebar, teman-teman satu angkatannya satu per satu keluar dari sana dengan wajah lelah. Seorang senior lengkap dengan seragam merah marunnya yang masih rapi berdiri tegak melihat mereka pulang. Raut wajahnya seperti ada seseorang yang memukul anjingnya, terlalu masam dan penuh lekukan kemarahan.
Oh. Ospek hari ini sudah usai.
Bukan, bukan maksud Kongphob mangkir dari kegiatan penyambutan mahasiswa baru ini. Tapi orang tuanya bersikeras agar dia tidak ikut. Maklum, baru dua bulan yang lalu Kongphob mengalami kecelakaan, dan baru tiga hari yang lalu perban di kakinya hilang. Orang tuanya hanya terlalu cemas anak laki-laki mereka satu-satunya terluka lagi, atau jadi kepayahan untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
Orang terakhir pulang, dan senior yang terlihat marah itu pun akhirnya menurunkan pundaknya sembari menarik napas lega. Lekukan-lekukan kemarahan itu sekarang sirna. Wajah mulusnya yang terlalu putih untuk ukuran pria kini menunjukkan apa yang dirasakan; lelah. Kongphob sadar bahwa tidak mungkin hanya teman-temannya saja yang merasa lelah. Para senior pasti merasakan hal yang sama, bahkan mungkin lebih. Kongphob dulu sudah sering menjadi bagian dari organisasi yang melakukan hal serupa seperti ini, dan itu bukanlah tugas yang ringan. Perasaan simpatik muncul dalam diri, tapi Kongphob urung untuk berlama-lama berdiri di bawah lampu jalanan ini, diam-diam dan seperti bersembunyi. Seperti orang aneh yang menatap senior itu lekat-lekat.
"Oi, Thit. Ayo kita eval!" sahutan senior lain mempertegas Kongphob untuk cepat angkat kaki dari sini.
Ah.. Kongphob ingat sekarang. Nama senior itu, Arthit.
****
Kongphob bertemu lagi dengan senior itu, di kantin dekat tempat kost saat ia mencari makan malam. Tempat itu seperti biasa penuh dengan mahasiswa-mahasiswa yang kelaparan, dan Kongphob harus menyiapkan diri untuk tidak bisa makan di sana. Tapi ia melihat senior itu sedang asik duduk dan memainkan handphone-nya, sendirian. Senior itu tampak santai dengan celana pendek dan kaos longgarnya. Entah ada angin apa yang merasuki Kongphob, tapi dia akhirnya memberanikan diri untuk menyapa.
"Boleh saya duduk di sini?" ia bertanya dengan suara agak keras, tidak yakin senior itu bisa mendengarnya di tengah keramaian.
"Silakan, silakan." Senior itu menjawab tanpa sekalipun melepaskan pandangan dari handphone-nya. Kongphob tersenyum pasrah dan memantapkan diri menarik kursi dan duduk di depannya.
"Terima kasih, Kak Arthit."
"Euy?!" Kak Arthit terperanjat, matanya membelalak dan langsung menancapkan pandangannya pada Kongphob. Mata yang kelewat besar itu mengerjap beberapa kali. Bingung, Kongphob tersenyum dalam hati.
"Kongphob, Kak. Angkatan baru." Ia memberikan informasi. Tapi Kak Arthit memiringkan kepalanya, berusaha mengingat-ingat. Seakan ada bola lampu yang menyala di sebelah kepala, matanya berbinar saat ia akhirnya bisa menyamakan nama Kongphob dengan memori di kepalanya.
"Anak baru yang kakinya diperban." Ujarnya mantap. Kongphob mengangguk.
"Sudah dilepas kok, kak. Beberapa hari yang lalu."
"Hm. Bagus kalau begitu. Tapi tetap nggak akan ikut ospek ya?" mata Kak Arthit memicing. Ia berusaha menampilkan persona-nya sebagai senior galak di ospek, tapi itu tak berhasil untuk Kongphob.
"Masih harus fisioterapi dulu."
"Hmmm.." kini Kak Arthit menyenderkan badan ke belakang, memandangnya seperti memeriksa bahan percobaan di mikroskop. Kongphob kemudian diselamatkan oleh ibu yang datang membawakan pesanan Kak Arthit; minuman manis berwarna pink.
"Eh, aku nggak pesan ini!" Kak Arthit berusaha berkilah. Ia sepertinya malu ketahuan memesan minuman itu di depan Kongphob.
"Aduh, Nak Arthit. Kamu itu kalau pesan di sini kan selalu pesan ini. Nggak mungkin ibu salah." Ibu itu bersikeras. Ia lalu meletakkan minuman itu dan pergi.
Oh. Wajah Kak Arthit memerah. Terlihat jelas sekali..
Kak Arthit masih pura-pura marah dan enggan untuk menyeruput minumannya. Mulutnya mengerucut cemberut, tapi matanya terus saja melihat minuman itu.
Cute.
Eh, apa?
"Saya juga kadang suka pesan minuman itu, Kak. Manisnya berasa banget." Kongphob buka suara. Ucapannya berhasil membuat Kak Arthit memutar bola matanya, tapi ia akhirnya meminum juga minuman itu.
"Terus, kalau nggak ikut ospek, kamu kemana? Balik ke kostan?" Kak Arthit mengganti topik.
"Ohh.. nggak kok, Kak. Seringnya sih saya pergi ke perpus." Jawaban Kongphob sepertinya tidak disukai. Ia bisa mendengar Kak Arthit berbisik pada diri sendiri, "Sok rajin.."
Kongphob tersenyum kecut. Teringat bahwa jurusan yang sekarang ia jalani bukanlah pilihannya. Ia harus membahagiakan orang tua. Dan yang dibutuhkan mereka bukan apa yang Kongphob ingin lakukan. Jadi..
"Saya bukan orang yang pintar, Kak. Kalau nggak rajin.. bisa-bisa nilai saya jelek. Kasihan orang tua, udah susah payah cari uang."
Kak Arthit lalu mengangkat bahu, tidak memiliki komentar apa pun untuk itu. Mereka lalu duduk dalam diam. Seniornya kembali sibuk dengan handphone-nya dan Kongphob juga akhirnya memilih untuk melakukan hal yang sama sembari menunggu pesanan tiba. Makan malamnya sederhana, ia selalu menyukai nasi omelet, jadi itu menu favoritnya. Sedangkan Kak Arthit..
"Cabe-nya.. banyak sekali." Kongphob tidak bisa menahan diri untuk berkomentar dan mengedipkan mata berkali-kali saat melihat pesanan Kak Arthit datang.
"Kenapa? Yang begini ini yang enak." Kak Arthit berceloteh. Pantas saja, Kongphob pikir, makanan Kak Arthit kelewat pedas, makanya minumannya pun kelewat manis.
"Jadinya sesuai ya.."
"Hah?"
"Oh. Nggak kok, Kak. Selamat makan."
"Hm."
Mereka makan tanpa bicara, terlalu sibuk melahap makanan di depan mata. Kongphob lalu permisi duluan pulang, saat makanan habis dan tidak tahu lagi apa yang perlu dibicarakan.
Malam yang aneh.. Kongphob hanya bisa berpikir seperti itu.
****
YOU ARE READING
[BAHASA] Bukan Logika - Fanfiksi
FanficHasil usaha pertamaku nulis fanfiksi Bahasa Indonesia! (Terharu) Please, be gentle with me na.. Ini adalah BL (Boys Love) fanfiksi dari Sotus (dan Sotus The Series). Semua Karakter (kecuali original karakter) adalah milik Bittersweet. Sinopsis : Ko...