Bab 3 Kembali

147 43 6
                                    


        Ada sebuah kafe yang menyenangkan untuk dikunjungi selepas sekolah. Cocok untuk memperbincangkan hal-hal serius. Untuk ruangan kecil, ditata sejumlah lima meja dengan empat kursi di setiapnya. Memang kebetulan sekarang hanya Izel dan Rafen yang menempati ruangan paling belakang. Mereka butuh menghindari keramaian untuk dapat saling bercerita.

       Rafen hanya memandangi segelas vanila milkshake di atas meja setelah mendengar kronologi peristiwa yang dilihatnya tadi. Sementara itu, sembari menyeruput lemontea hangat, Izel tak hentinya menyesali keteledorannya.

        "Kamu belum tenang, ya? Sudah, jangan dipikirkan," lelaki yang sedang duduk di depan Izel itu menenangkan.

         "Iya, Kak," Izel menahan kelopak matanya yang berat.

         Rafen menyeruput minumannya sambil memandang Izel. Izel yang mengetahuinya salah tingkah karena ia telah memiliki perasaan khusus terhadap lelaki jangkung itu.

        "Zel," panggil Rafen setelah minumannya sampai di lambung.

        "Iya?"

        "Kamu masih belum menerima kemampuanmu, setelah apa yang kamu alami tadi?"

        Izel menunduk, memainkan rambut panjangnya. Lalu sejenak menatap nanar kacamatanya yang sudah tidak karuan di samping gelas teh lemon.

        "Ya sudahlah. Aku hanya berpesan, lebih baik kamu cepat sadar. Kemampuan mata batinmu bukan sebuah hukuman, melainkan anugerah bila kamu bisa mengendalikannya," lanjut Rafen.

         Seakan tidak terlalu menggubris ucapan Rafen, Izel malah memalingkan pandangannya ke pintu keluar. "Hm, aku hanya tidak tahu mengapa ia menjadi ganas begitu," ucap Izel.

         "Maksudmu," Rafen hampir menebak

          Izel kembali memandang lelaki yang di depannya tersebut. "Ya, namanya Chey. Aku ingat pernah bertemu dia sebelumnya. Saat aku masih kecil dan di mimpi tadi malam. Tapi ia sangat ramah."

          Rafen menopang dagunya dan memperhatikan Izel dengan seksama. "Bisa jadi ada hal yang mengganggunya, lalu auranya berubah negatif."

          "Hah, aku juga tidak tahu. Hehehe," Izel menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kita pulang saja ya, kak."

           Rafen mengiyakan berhubung kelihatannya Izel sudah sangat penat. Mereka keluar dari kafe tersebut dengan meninggalkan bangkai kacamata Izel di atas meja.
         
●●●

         "Kak Izel, aku ingin makan bakso!"

         "Gak ada orang jual bakso keliling, Audy. Hujannya sangat deras," balas Izel kepada adiknya yang baru sembilan tahun.

          Di rumah sepi. Mama Izel sedang lembur. Sedari tadi hanya ada suara ocehan Audy yang kelaparan dan ketikan keyboard dari kakaknya yang sedang mempersiapkan materi selaku seorang dosen.

          Izel memasak sup daging untuk makan malam mereka bertiga. Tetapi Audy masih merengek meminta bakso dengan berdalih masakan kakak perempuannya kurang sedap.

         "Audy, jangan manja. Mari makan," ucap Saddam, kakak lelakinya sambil membereskan laptop-nya.

         Mereka bertiga akhirnya menghadap meja yang sama. Izel membagikan nasi beserta lauknya ke piring masing-masing.

         "Bagaimana sekolahmu hari ini?" Saddam memulai basa-basi ke Izel.

         Izel menghabiskan makanan dalam kunyahahannya dengan malas, "Buruk. Sangat buruk."

In AngerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang