Bab 4 Laut

97 40 3
                                    

"Son, aku ingin memarahimu," ucapku seketika kepada Sonya yang tengah asyik memainkan kulit kerang di dekat ombak kecil yang menyelimuti pasir. Aku duduk beberapa meter lebih jauh dari pesisir pantai yang didudukinya sambil membaca sebuah novel baru karya Tere Liye.

"But why?" Sonya sedikit memrotesku, tapi tidak berpaling dari hiburannya, tepatnya fosil-fosil hewan laut tersebut.

"Karena kamu tega meninggalkanku bertahun-tahun lalu. Apakah kamu tidak mengerti bagaimana perasaanku? Padahal semua tahu bahwa tidak ada manusia yang mau mendekatiku sebagai seorang teman. Mereka takut. Hanya kamu yang tidak menganggap aku gila," dahiku mengerut mendekatkan kedua alis ke pangkal hidung.

"Tapi bagaimana di SMA? Kamu sudah dapatkan teman, kan? Aku yakin dengan kecantikan dan kecerdasanmu banyak remaja tertarik padamu."

Sonya benar. Banyak siswa yang mulai mendekatiku karena ulangan harian matematikaku selalu mendapat nilai 100. Tidak hanya matematika kurasa, hampir semua mata pelajaran, kecuali geografi. Terkutuklah akalku menemui soal-soal litosfer dan mengenai benda-benda yang bercampur di dalam lubang gunung berapi. Aku hanya mengerti materi hidrosfer. Selain bab hidrosfer, nilai tertinggi tes geografiku hanya 75.

"Tapi, Son, mereka membutuhkanku. Jadi itu satu-satunya alasan mengapa banyak yang mendekatiku. Sampai kadang tidak kupedulikan. Mereka datang padaku karena butuh," tangan kananku meremas pasir dengan kuat sampai menjatuhkan sisa-sisanya karena telapak tanganku kecil. Dalam imajinasiku, aku sedang asyik meremat wajah para pendatang 'tambal butuh' sialan.

Sayangya, ungkapan ketulusan hatiku baru saja tidak didengar Sonya. Tanpa kusadari sejak kapan, dia berdiri menggenggam penuh kulit-kulit kerang dengan kedua tangannya. Senyuman maupun seringai sama sekali tidak tumbuh di wajahnya. Benar-benar datar.

Sonya berjalan lebih dekat ke air laut yang setiap detik menyerang pergelangan kakinya. Penuh penghayatan dia berjalan mendekati laut hingga air laut tiba setinggi lutut gadis kulit cerah itu. Langkahnya pun berhenti.

Angin lewat cukup cepat menerbangkan kantong plastik bersama debu-debu pantai, menggerakkan rambut kekuningan Sonya yang bermodel shoulder length.

"Son?"

Ada yang janggal. Aku mulai mengkhawatirkan diri Sonya. Perasaanku digeluti ketidaknyamanan mendadak. Sepertinya, suatu hal setelah ini akan muncul dan bisa jadi mengusik kami. Resahnya lagi, sejauh 500 meter dari pantai ini tidak ada orang selain aku dengannya.

Kuputuskan menutup novel sembari memasukkannya ke dalam tas ransel kecilku, lalu berdiri untuk memerhatikan gerak-gerik Sonya lebih seksama. Memastikan dirinya baik-baik saja. Berharap hanya karena sinar merah dari keramahan senja yang membuat bule itu bak patung manusia yang sengaja diukir di pesisir pantai selatan.

Angin semakin kencang menggerakkan mini dress warna kulit pucat yang dikenakan Sonya. Tubuh ramping dengan tinggi 173 cm mempersembahkan tubuhnya bagaikan model kepada alam.

Sudah sekira satu menit aku memandanginya dan sudah sekira satu menit dia hanya berdiri jauh membelakangiku. Seakan dia sedang meratapi nasib laut yang memelihara ombak-ombak besar sesekali memurkakan maut. Akan tetapi, beberapa detik kemudian, dia mengangkat kedua lengan sambil menguatkan genggaman.

Sonya mulai melempar kulit-kulit kerang dari kedua genggamannya. Sejenak, perasaan lega memoles hatiku yang sedari tadi sudah cemas terhadap perilakunya.

Aku hendak kembali duduk, namun yang mataku dapati mengurungkan kehendakku sekejap. Ya Tuhan, keadaan memburuk.

Aku melihat perempuan, atau ratu, warga kerajaan, atau apa. Perempuan bermahkota emas berambut panjang mengenakan gaun pernikahan sebatas dada berwarna merah. Kulit cerah, wajahnya terpoles riasan tipis, benar-benar anggun, tapi ini buruk!

Wanita itu tersenyum ke arah Sonya menampakkan gigi-giginya yang tajam menyerupai gigi hiu dengan setengah badan dari perut ke bawah berbentuk ekor ikan. Sisik berwarna perak. Cakar pada jari-jari tangannya siap mengoyak isi perut siapapun yang berada di depannya. Ya ampun, aku kesulitan menyebutnya, wanita setengah ikan, oh, siluman ikan.

Siluman cantik namun menyeramkan tersebut terlihat hendak menjangkau tangan Sonya. Bola matanya kuning menyala. Aku merekam aura makhluk itu. Dia akan berlaku jahat.

"Sonya, lari!"

Ah, bodohnya aku. Bagaimana mungkin membiarkan Sonya mengikuti perintahku, sedangkan pandangannya sudah tersihir makhuk cantik sekaligus menyeramkan itu.

Sekarang, makhluk pengganggu tersebut menatap ke arahku. Teriakanku telah mengusik telinganya. Ke arahnya, aku menajamkan mata agar wanita siluman laut itu mengerti bahwa aku sangat membencinya.

Ritual laut ia lakukan dengan menggerakkan satu tangan. Dia terlihat seperti akan memboikot permukaan laut beserta seisi pantai. Air laut kian menampakkan ombak yang lebih besar menggulung-gulung bagai anjing kelaparan di tengah banjir.

Aku cemas. Kupaksakan diri berlari dan meraih Sonya. Tapi, kami malah terjatuh di tempat Sonya berdiri mematung, lalu ombak ganas ciptaan wanita siluman itu berhasil membungkus kami.

Sonya tidak sadarkan diri. Ombak tiada henti mencoba menggeret tubuh kami. Tangan Sonya seerat mungkin kugenggam. Aku tidak mungkin membiarkannya terbawa arus ke tengah laut.

Air laut yang telah dikuasai wanita jahat itu membanting tubuh kami sangat keras. Sayangnya, ada batuan cukup besar yang terdiam menerima tubuhku untuk membenturnya.









In AngerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang