Bab 6 Kambuh

101 41 7
                                    

Hari ini adalah Senin yang membosankan setelah membagi kisahku kemarin kepada Nada dan Jelita. Bukannya mereka kasihan, malah menertawakanku. Aku jadi tak berselera membuka sesi streaming film horor di jamkos ini.

"Hahaha. Dasar anak nila!" teriak Jelita di depan kelas membuat siapa saja yang lewat menoleh heran.

Tidak kalah. Nada turut meledekku, "Kamu sangat pintar, tapi ke-absurd-anmu lebih parah ya, Fe?"

"Ssst, kalian ini! Pelan-pelan kalau ngomong. Gak malu dilihat banyak kakak kelas?"

"Udah biasa. Lagian, kamu selalu aneh dengan cerita-ceritamu yang tak terduga. Ditambah kamu beruntung telah digendong Pangeran dari negeri kangguru. Hahaha," Jelita meneruskan tertawa.

"Diam! Gak usah gitu, deh. Malu aku, tuh."

Meski sangat kesal, aku merasa beruntung. Berkat takdirku dipertemukan dengan Poppy kemarin, aku masih bisa bernafas di sekolah sekarang untuk dipermalukan kedua sohib kejamku. Daripada menggubris perkataan tidak mengenakkan, lebih baik have fun.

Kringg!

Bel istirahat pertama berbunyi. Perutku ingin diisi sesuatu yang manis, misalnya janji-janji usang dan tak abadi dari kepalsuan doi, ups!

"Eh, Je, Nad, ke kantin ayo!"

"Oke, Fe. Sini gandeng kita, pelan-pelan jalannya."

Sepanjang jalan menuju kantin, Jelita dan Nada terus membahas ulang peristiwaku kemarin sambil sesekali meledekku. Mereka bilang aku konyollah, begolah, aneh, misterius, cupu, segala macam stiker sialan ditempelkan ke jidat merosot ke liver. Membikin panas dan menguap di keluar dari kepalaku.

Baru saja kami menginjak lantai kantin dengan aroma soto melayang di depan hidung. Tidak tahu apa masalahnya, Mocca tiba-tiba berlari ke arahku sambil memanggil dengan muka takut.

"Fere, Fere, tolong! Tolong!"

"Apa? Apa?" Aku terkejut.

Nada turut menyahut, "Apaan sih, Moc? Kamu gak jelas banget."

"Aduh, bodo amat! Fe, tolong, Merinsa kesurupan lagi!"

"Hah?" Nada dan Jelita menganga bersamaan.

"Lah? Terus, bagaimana? Aku juga tidak bisa mengatasi, Moc. Aku bukan paranormal," tolakku karena suatu alasan.

"Gak usah basa-basi kamu, Fe! Aku tahu kamu.... indigo," tidak tahu mengapa Mocca memelankan suaranya ketika menyebut kata itu.

"Heh? Bagaimana Mocca bisa tahu?"

"Tolonglah pokoknya!"

"Dimana Merinsa?" aku meluruskan topik.

"Udah, ayo!" Mocca menarik tanganku dan membawaku pergi.

Nada dan Jelita sigap menyusul. Mereka mengikuti kemana aku akan dibawa oleh Mocca. Aku tidak banyak membantah karena aku turut khawatir memikirkan Merin. Apakah ada yang salah dengan Merin? Aku pikir, dia benar-benar gadis normal. Tidak sepertiku.

Mocca membawaku sampai ke kebun belakang sekolah. Di tempat berkumpulnya segala hantu bermuka imut maupun biasa-biasa, yang kutahu. Untung-untung aku bisa lihat yang cute, aww. Yakali bertemu sama yang imut, selama aku sekolah di sini saja belum pernah ada hantu yang ramah muncul. Eh, sepertinya ada.

"Hei, Mocca! Fere mau kamu culik apa?" bentak Nada sedikit kesal.

Jelita turut mengomeli Mocca, "Loe jangan macam-macam ke dia, ya! Pelan-pelan, dong! Kakinya lagi sakit, tau gak!"

In AngerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang