Bab 2 My Name is Chey

211 47 1
                                        


         Rafen Axel sedang menunggu Izel berbelanja kue. Ia tengah berbincang bersama seorang gadis di bangku depan toko aneka jajanan. Pertemuan pertama dengan anak itu berlangsung seputar perkenalan.

         "Aku tidak punya," jawabnya setelah Rafen menanyakan nama.

         Seketika Rafen bingung, namun segera gadis mungil itu berkata lagi, "Tapi Izel biasa memanggilku Chey."

         Chey tinggal di suatu tempat nan jauh, tak banyak orang yang dapat menjangkaunya. Dia tinggal seorang diri dengan beberapa hewan peliharaannya. 

         Rafen tak percaya, anak sekecil itu hidup tanpa naungan orang tua.

        "Bagaimana kau mengenal Izel?" Rafen mulai membangkitkan suasana dengan pertanyaan selanjutnya.

         Chey memasang muka serius. Ia mulai berbicara, "Hari itu, Izel berada di sekitar tempat tinggalku entah sejak kapan dan bagaimana caranya. Aku melihatnya saat aku memetik buah apel. Tentu saja aku sangat terkejut. Tidak ada penduduk selain aku di sana. Dia berjalan gontai, seperti sedang tidak tahu arah. Karena itu, kudekati untuk memperkenalkan diriku. Dia bilang, namanya Izel. Ketika itu, umurku delapan belas tahun, sedangkan dia masih tujuh tahun."

       "Delapan belas?" Rafen menyela setengah tidak percaya. Hanya kemungkinan kecil kalau seseorang di usia sekian masih berbadan layaknya anak kelas empat SD.

        Chey melanjutkan, "Kemudian Izel bertanya 'Di mana aku sekarang?' lalu kujawab bahwa dirinya sampai di bukit yang tidak bernama. Dia semakin tidak mengerti dirinya sendiri."

         "Tunggu dulu, Chey" Rafen memotong penjelasan, "Bukit? Bagaimana bisa sampai ke sana dia?" Rafen penasaran.

         Chey diam sejenak, menggosok-gosok pipi tirusnya, kemudian ceritanya berlanjut, "Tapi, lama-lama kami semakin akrab, bahkan dia telah mengenal baik hewan-hewan peliharaanku: Jee seekor lembu, Phi si kelinci, dan Bass seekor beruang yang masih muda. Kami menghabiskan waktu hampir seharian untuk bercanda serta bertukar cerita. Sesudah itu, Izel memejamkan mata, lalu dia menghilang tanpa jejak."

         "Lantas, caranya kau sampai sini?" Rafen keheranan.

         "Aku mendatangi mimpi Izel selayaknya bocah sepuluh tahun."

         "Hah? Apalagi yang anak ini katakan," dia semakin kebingungan. Kalimat-kalimat yang melayang tanpa bisa ditangkap. Rafen pikir, bagaimana manusia dengan sadar mampu menembus mimpi orang lain

        Chey tetap ingin menyelesaikan ceritanya. "Dalam mimpinya, Izel sedang bermain di sawah bersama seorang laki-lakin. Tanpa sadar, Izel berjalan ke alam lain. Dia memasuki sebuah bangunan bekas sekolah dasar. Ia melihat banyak anak berseragam tengah berkeliaran."

        "Sesaat kemudian, ada segerombol siswa berjalan berlawanan arah dengan Izel. Aku hanya melihatnya dari jauh--belakang Kakak. Lalu, siswa-siswa itu menyapanya, dia pun membalas. Yang aku lihat, semua siswa tersebut berlumuran darah di wajah serta seragam mereka dan senyum yang tampak seram. Teman Kak Rere kemudian menghampiri dan bertanya, 'Kau tersenyum pada siapa, Fere?' Kak Rere hanya diam seraya memerhatikan ke sekeliling."

          "Aku mulai khawatir, lalu kuputuskan untuk menghampirinya. Sampai tepat selangkah di belakangnya, aku berbisik, mereka bukan manusia dan berbahaya. Namun, Izel tidak memedulikanku hingga akhrinya dia menghilang. Mungkin dia terbangun dari tidur lelapnya."

          Rafen membisu, tidak tahu apa lagi yang akan dia ucapkan. Keringat deras mengalir dari pelipis. Dentum jantung begitu cepat di dalam dada, namun dia tetap berusaha tenang.

In AngerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang