I

47.3K 6.9K 1.3K
                                    

Zane, Wawan, dan Daisy duduk bersama di hamparan rumput taman sekolah, berteduh di bawah pohon rindang sambil menikmati hembusan angin sepoi-sepoi dan pemandangan lapangan basket dari kejauhan.

"Jangan sedih ya, Zane," pinta Wawan entah untuk yang keberapa kalinya.

Zane baru saja menceritakan pada mereka, tentang dirinya yang diputusi Carol dan dihukum Mama tidak boleh menggunakan handphone, tidak boleh keluar rumah—kecuali sekolah, dan tidak dapat uang jajan, semuanya selama sebulan penuh.

"Makan masakan rumah memang lebih sehat," pinta Wawan halus. "Yang sabar ya, Zane. Semua ada jalannya."

"Lo kayak gue mau mati aja!"

"Lagi pula Carol memang bukan cewek baik-baik."

"Yah elah, lama-lama lo kayak kakak gue aje, Wan! Gemes gue sama lo!"

"Mungkin dengan putusnya elo sama Carol, lo bisa cari cewek lain yang lebih baik."

"Otomatis," Zane mengangkat dagu sombong. "Berita putusnya gue sama Carol baru nyebar, tapi nggak lama kemudian cewek-cewek langsung berdatangan deketin gue kayak semut. Bikin gue pusing. Nggak gampang loh sortir cewek."

Seorang murid perempuan melintasi tempat mereka, melirik malu-malu pada Zane, lalu tersenyum dan melambai manis. Tentu saja si pangeran jomblo tidak menyia-nyiakan kesempatan emas yang lewat depan mata, dibalasnya si siswi pemalu dengan kerlingan mata cool sekaligus genit.

"Sayang 'kecil'," bisik Zane begitu murid itu pergi.

Wawan menggeleng. "Jangan gitu, Zane. Melihat perempuan nggak boleh cuma dari fisiknya aja. Kakak lo bakal kecewa."

"Halaaaaaah~ emangnya gue pacaran buat bikin dia seneng?! Sekali aja lo nggak ngomongin dia, bisa nggak sih?! Gue sebel banget sama si ulet keket itu!" Zane mengibas tangannya ke depan wajah Daisy. "Eh Des, andai aja lo tau betapa beruntungnya elo jadi anak tunggal!"

Daisy melepaskan earphone dari telinganya. "Hmm?"

Wawan segera menggeleng. "Nggak. Nggak ada apa-apa, Des. Kamu lagi dengerin lagu apa?"

"La Fille aux Cheveux de Lin."

Demi Tuhan, apa itu? "Wah ...," Wawan menggaruk kepalanya. "Aku nggak gitu ngerti lagu Mandarin."

"Oh ini musik klasik kok. Mau coba denger?" Daisy menyerahkan satu earphone-nya.

Wawan menggeleng sungkan. Lebih baik mendengar tembang Sunda Cianjuran daripada musik klasik. "Eh, ngg—anu ... Des, ngomong-ngomong ... makasih ya kemarin udah selamatin aku."

"Oh, sama-sama." Daisy tersenyum manis sambil menyimpan ponselnya, dipandanginya Wawan dengan sungguh-sungguh. "Aku minta maaf karena udah bikin semua orang ngomongin kamu."

Pipi Wawan tiba-tiba memerah. Tentu saja ia mengerti maksud ucapan Daisy. Murid-murid di sekolah ini tampaknya tidak terlalu peduli dengan kasus bully dan tenggelamnya Wawan di pesta Carol, mereka lebih senang menggosipkan insiden CPR itu. Insiden CPR yang membuat gempar semua orang.

"Aku yang mestinya minta maaf," Wawan menatapnya malu. "... soal first kiss itu."

"Oh. Aku nggak merasa itu sebagai first kiss, jadi nggak usah dipikirin," ujar Daisy dengan senyuman polos yang mampu membuat luluh hati setiap pria, sambil tak lupa memberi tepukan ringan di lutut Wawan.

Everything [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang