G

41.9K 6.8K 1.1K
                                    


Denting terakhir permainan piano Daisy disambut riuh tepuk tangan semua orang di ruang keluarga.

"Bravo!" teriak Opa Albert bangga. "Pak Menteri bakal terpukau sama permainan kamu di pentas seni nanti."

Daisy meringis dalam hati. Apakah mereka masih akan kagum padanya, kalau saja mereka tahu bahwa yang ia mainkan tadi adalah Minute Waltz dari Chopin, sementara yang akan ia bawakan di pentas nanti 'cuma' sesuatu dari film kartun Studio Ghibli.

Daisy telah mencoba merayu Bu Bertha untuk mengubah pilihan musiknya, tapi guru itu menolak dengan berbagai alasan entah waktu latihan yang terlalu singkat atau pilihan lagu Daisy yang terlalu 'rumit' di telinga orang awam. Mau tidak mau Daisy curiga apakah Bu Bertha memilihnya karena benar-benar percaya dengan kemampuannya, atau karena ia cucu pemilik yayasan sekolah.

Meski diam-diam Daisy sudah tahu alasan Bu Bertha.

Kung Thai baru saja keceplosan beberapa jam lalu, bahwa ia mengucurkan dana yang tidak sedikit untuk keperluan pentas dan ia senang dengan 'balasan' yang pihak sekolah berikan padanya.

Jari Daisy meninggalkan tuts piano dan ia mencoba tersenyum riang pada semua yang berkumpul di sana. Jangan sampai ada yang melihat awan mendung di wajahnya.

"Karena semuanya udah ngumpul di sini," Mama berseru pada semua orang. "Aku bakal masakin masakan spesial buat kalian. Udah pernah coba beef wellington buatan aku?"

Semua tawa tahu-tahu lenyap. Opa Albert melirik Oma Eliz, Oma Eliz menerawang ke segala arah, Kung Thai pura-pura sibuk mencari kotak cerutu dari balik jasnya, Om Jacob serta Tante Kyra duduk membatu seperti arca Bali, sementara Om Steven dan Tante Devi mengerjap-ngerjap kaku seperti sepasang makhluk kesurupan.

Papa membetulkan kacamatanya, tersenyum kalem berusaha mencairkan ketegangan. "Karena ini sudah hampir jam makan malam, bagaimana kalau saya masak yang simpel saja? Nasi goreng?"

"Puji Tuhan!" Oma Eliz mengusap dada. "Kamu yang masak kan, Cell?"

"Syukurlah." Opa Albert bertepuk tangan sambil mengangguk-angguk kepala.

Kung Thai mengembus napas lega dan kembali merapikan jasnya, Om Jacob dan Om Steven beserta istri-istri mereka tertawa riang.

"Ini maksudnya apa ya?!" Mama berkacak pinggang.

"Sshhh! Bibi!" Oma Eliz memelotot galak.

Daisy melirik jam dinding. Papa benar, sebentar lagi jam enam. Ia tidak punya banyak waktu.

"Ma," Daisy menarik-narik ujung pakaian Mama dan berbisik. "Bisa bicara sebentar?"

Mama menoleh bingung, lalu mengikuti Daisy meninggalkan keramaian menuju dapur.

"Kalau kamu mau ngomong soal masakan Mama yang amburadul, kamu nggak usah malu ngomong di depan mereka," Mama ikut berhenti saat Daisy berhenti di depan kitchen island mereka yang luas.

"Ma, aku mau ke Carnival."

Mata Mama sontak membulat. Wanita cantik mantan pramugari itu terpaku diam saat Daisy menjelaskan padanya perihal bucket list dan badut maskot. "Daisy, kamu sadar Carnival itu kayak gimana? Kamu pernah ke pasar malam?"

Daisy menggeleng.

"Dufan? Carnival itu Dufan versi murahan dan berantakan."

Daisy menggeleng lagi.

Mama menarik napas pendek dan menatapnya prihatin. Ia lupa, Cupcake-nya memang tidak pernah ke Dufan apalagi pasar malam.

Semua ini salah Oma Eliz yang terlampau mengekang Daisy untuk menikmati masa remaja. Dan salahnya juga, yang menyetujui ide gila Oma untuk menyekolahkan Daisy di asrama putri yang ketat. Salahnya, membiarkan Oma mengendalikan hidup Daisy padahal Daisy adalah putrinya—karena ia pikir dengan cara itu ia bisa mendekatkan Daisy dengan neneknya, tapi malah kebablasan.

Everything [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang