Empat tahun setelah Carnival,
Begitu terdengar suara pintu, Daisy berusaha membuka kelopak matanya dengan susah payah. Kepalanya sakit bukan main. Napasnya terasa panas, sendi-sendinya terasa nyeri, tapi meski begitu bibirnya merekahkan senyum tatkala ia melihat siapa yang muncul dari pintu kamarnya.
"Hai, Homie," sapa Daisy dengan senyuman lemah.
"Mereka nggak pake 'homie' di Boston." Agni meletakkan koper kecilnya ke sudut kamar, lalu membuka mantel tebal yang sudah menghangatkan tubuhnya sejak di bandara.
"Sori nggak bisa jemput."
Agni berkacak pinggang memandanginya khawatir. "Gue bisa liat kenapa. Udah dari kapan lo sakit?"
"Baru kemarin malam," Daisy berbaring terlentang sambil memejamkan mata. "Kayaknya emang nggak cocok sama udara dingin."
"Dasar manja," Agni duduk di pinggir tempat tidur Daisy dan menjulurkan tangan untuk menyentuh keningnya. "Ini panas loh, Des. Lo nggak mau ke dokter?"
Daisy menggeleng.
"Udah kasih tau nyokap lo?"
"Kalau nyokap gue tau, berikutnya pasti oma gue tau, terus panik, terus satu keluarga bisa-bisa langsung terbang ke London."
Agni melayangkan matanya ke lantai, ke tempat tisu-tisu bekas berceceran dalam jumlah yang tidak sedikit. Agni ingin percaya bahwa tisu itu adalah bekas ingus Daisy karena flu berat, tapi melihat kedua mata Daisy yang sayu dan bengkak ... ia tidak lagi yakin.
Agni melepaskan sepatu bootsnya dan naik ke tempat tidur, lalu berbaring di samping Daisy untuk menatap kedua matanya. "Kalau lagi sakit, jangan dibarengin sama sedih."
"Cuma lagi kangen sama keluarga."
"Entah kenapa gue merasa ada sesuatu yang lebih."
"Nggak ada yang lebih dari keluarga," Daisy menjulurkan telapak tangannya. Agni mendengus, lalu mengaitkan jemari mereka seperti yang biasanya mereka lakukan pada malam-malam menginap semasa remaja. Daisy pun memejamkan mata sambil tersenyum. "Thanks udah mau datang buat liburan. Elo sih, nggak mau kuliah di Oxford aja. Jarang-jarang kita bisa kayak gini."
Mengabaikan ucapan Daisy, Agni menerawang ke seisi kamar apartemen Daisy. Masih tidak terlalu banyak barang yang gadis itu letakkan di sana. Suasana kamarnya sedikit hampa, sama sekali tidak meneriakkan aura aku-senang-sekali-bisa-berada-di-London-mengejar-mimpiku. Kardus-kardus di sudut kamar bahkan masih belum dibuka.
"Gue masih heran kenapa lo milih tinggal di apartemen satu kamar gini. Apartemen rakyat jelata banget. Padahal oma lo bisa beli semua apartemen mewah di South Kensington."
"Justru Oma nggak pernah mau pamer. Harus merendah sebisa mungkin."
"Oh iya lupa. Kung Thai lo ya, yang begitu," seketika itu Agni langsung menyesali ucapannya. Buru-buru ia menatap Daisy dan mendapati kedua mata sang sahabat makin terlihat sendu. "Sori."
"I miss him."
"Itu sebabnya lo nangis hebat sebelum gue dateng?"
"Agni, gue lagi flu."
"Jangan bohong. Kalau aja gue nggak megang badan lo yang demam, terus terang elo lebih kelihatan kayak orang sedih daripada sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything [Sudah Terbit]
RomanceSegera Terbit Hidup Agni yang serba datar dan teratur, tidak pernah sama lagi sejak ia ditugaskan menjaga cicit pengusaha terkaya se-Asia, Daisy Yasa, di hari pertama sekolahnya. Tidak ada satu pun persamaan di antara mereka. Agni yang kaku seperti...