1. Negosiasi

284 10 0
                                    

"Malika, dari mana saja kamu?"

Aku berhenti saat mendengar suara berat memanggil namaku. Kupikir misi mengendap-endapku ini tidak akan ketahuan. Ternyata di ujung ruangan, sudah ada yang siaga menunggu kepulanganku. Dia papahku. Dengan ekspresi tanpa bersalah, aku membalikkan tubuh menatap papah. "Habis dari rumah teman pah" jawabku sekenanya.

"Jam 11 malam baru pulang? Teman macam apa, yang masih mengizinkan orang lain bertamu sampai tengah malam begini?" Kulihat raut wajah papah mulai tidak bersahabat.

"Pokoknya ada. Papah nggak kenal" ucapku santai tanpa takut melihat ekspresi papah yang sebentar lagi akan mengamuk.

"Malika. Berhenti bergaul dengan teman-teman kamu yang tidak jelas itu. Berhenti keluyuran setiap malam. Kamu ini anak gadis, tempatnya dirumah bukan diluar sana melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat. "

Aku menyeringai, papah memintaku melakukan hal yang nggak mungkin bisa aku wujudkan. Ibarat manusia yang membutuhkan makan dan minum lalu diminta untuk berhenti maka manusia akan mati, seperti itu pula aku jika papah memintaku untuk berhenti bergaul dengan teman-temanku. It's Impossible, dan satu lagi, apa aku tadi tidak salah dengar? Papah bilang kalau anak gadis itu tempatnya dirumah? Ck, primitif sekali pola pikir papahku ini. "Malika nggak mau pah." aku menggelengkan kepala.

"Kamu ini sudah besar cobalah untuk bersikap dewasa, Malika." aku masih menggeleng. "Papah tidak melarang kamu untuk bergaul, tetapi papah minta pilihlah teman-teman yang baik yang kelak bisa memberikan syafaat dan membawamu ke surga."

Aku meringis mendengar perkataan papah, ekspekatasinya terlalu tinggi. Aku mulai risih karena beberapa minggu belakangan kedua orang tuaku suka sekali menasihatiku. Kata-kata yang keluar dari mulut mereka hanyalah tentang dosa dan pahala, surga dan neraka. Religius sekali bukan? Kata-kata yang selama 17 belas tahun ini jarang sekali kudengar, frekuensinya bisa dihitung dengan hitungan jari. Kenapa sekarang ini mereka jadi suka sekali menasihatiku atau lebih tepatnya memarahi. Padahal selama ini mereka tidak pernah punya waktu untukku. Yang mereka pikirkan hanya kerja dan kerja. Lalu pertanyaan terakhir, akan bertahan sampai kapan sikap religius mereka itu?

"Baiklah Malika. Papah rasa keputusan papah sudah bulat. Papah akan mengirimmu ke pondok pesantren"

"What???" aku membelalakkan mata. "Jangan bercanda pah"

"Papah tidak pernah bercanda untuk urusan yang sangat prinsip"

Benar, aku tahu betul bahwa papah adalah tipikal orang-orang idealis. Terlebih ada hal-hal yang papah paling nggak suka jika dibantah. Aku mulai panik. Bagaimana ini? Aku nggak mungkin masuk pesantren karena aku sudah merencanakan masa depanku di sebuah universitas. "Malika menolak pah karena Malika akan mendaftar di sebuah universitas." aku membantah papah dengan sebuah alasan.

"Tidak. Papah tetap akan memasukkan kamu ke pesantren."

Aku mulai gelagapan. Bagaimana ini? Ah, mamah. Mamah pasti bisa membantuku karena selama ini mamah selalu sejalan denganku menjadi tameng bagiku. Akupun menoleh ke sembarang arah mmencari keberadaan mamah.

"Mamah sudah setuju. Jangan coba mencari alibi." itu suara papah. Hebat sekali dia tahu isi pikiranku.

Aku terdesak. sekarang apa yag harus aku lakukan? Ayo berfikir Malika. "Pah apa nggak ada cara lain? Malika sangat ingin masuk universitas, bahkan Malika sudah mencari informasinya sejak setahun lalu. Lagi pula Malika sangat tidak berbakat untuk masuk pesantren. Tolong kasihani anakmu ini pah." ucapku memelas, mulai mendramatisir keadaan.

Papah menggeleng, "Tidak ada negosiasi Malika. Terlebih bukan bakat yang dibutuhkan untuk belajar ilmu agama melainkan niat dan tekad yang kuat."

"Nah itu, sepertinya kita harus bernegosiasi pah" aku baru saja mendapat pencerahan. "Papah boleh meminta apa saja, boleh melakukan apa saja pada Malika. Bahkan mengurangi kuantitas uang jajan Malika pun boleh. Asal Malika tetap kuliah di universitas impian Malika. Boleh ya pah?" aku mengguncang lengan papah. Merengek lebih tepatnya.

Kulihat papah diam saja sepertinya sedang berpikir. "Kapan tes seleksi universitas itu diadakan?"

"Sepuluh hari lagi pah" jawabku bersemangat sepertinya pertahanan papah mulai goyah.

"Kapan pengumuman kelulusannya?"

"Kurang lebih dua puluh hari setelah tes seleksi usai"

"Baik. Mari kita bernegosiasi" ucapan papa barusan bagai angin yang berembus kencang memberi kesegaran. Aku mengangguk cepat penuh semangat. "Papah akan mengizinkan kamu untuk kuliah di universitas itu dengan syarat sebelum kamu memasuki universitas itu kamu sudah berubah menjadi lebih baik" ucap papah kemudian.

Aku tersenyum. Ah gampang itu mah.

"Baik maksud papah disini yaitu kamu harus bisa berubah menjadi wanita shalehah. Minimal tidak seperti sekarang ini, seperti berandalan." papah menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Kamu harus jadi wanita yang berakhlak. Bisa shalat dan bisa mengaji. Itu point utamanya"

Aku mengangguk saja. Meskipun permintaan papah itu sedikit sulit kurasa.

"Satu lagi, papah mau kamu sudah harus mengganti cara berpakaian kamu ini. Pakai pakaian yang longgar. Nanti biar papah dan mamah yang belikan."

No, kenapa harus ke pakaian segala sih, gerutuku. "Kenapa harus pakai yang longgar sih pah? Memangnya ada yang salah sama penampilan Malika saat ini? Malika nyaman kok seperti ini."

"Salah. Cara berpakaianmu itu jelas salah. Kamu mungkin nyaman memakainya tapi mata papah sakit melihatnya."

Ck,,, fakta baru mengenai papah, selain memiliki pola pikir yang primitif papah juga memiliki mata yang tidak bisa membedakan antara kekininan dan ketinggalan jaman. Padahal sebelumnya penampilanku ini tidak pernah dipermasalahkannya. Kenapa baru sekarang coba?

"Oke Malika, selama tiga puluh hari kedepan buktikan pada papah dan mamah bahwa kamu bisa berubah tanpa harus masuk kedalam pondok pesantren. Jika kamu gagal maka dengan senang hati papah akan mengantarmu menuju pesantren. Karena semua administrasi sudah papa urus. Kamu tinggal membawa diri saja." papah mengangkat tangan.

Benar-benar perencanaan yang matang. Meski ragu aku tetap menjabat tangan papah. Oke aku akan berusaha. Akan aku  aku pastikan kedua kakiku ini berpijak dilantai universitas impianku bukan di pondok pesantren.

Papa terseyum bahagia, setelah itu dia berjalan meninggalkanku "Besok papah akan menghubungi Nisa. Dia yang akan menjadi tutormu selama sebulan kedepan." ucap papah sebelum hilang dari pandanganku.

What??? perempuan itu akan menjadi tutorku? Tidak adakah yang lain selain dirinya di kota ini yang mampu mengajariku. Kenapa harus dia?

***

22 Maret 2019

30 HARI MENGETUK PINTU NYA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang