2. Wanita Antah berantah

187 12 0
                                    

"Malika bangun!"

Sayup-sayup aku mendengar seseorang memanggil namaku.

"Malika"

Sekarang bukan hanya suara yang kudengar tetapi juga tubuhku terasa berguncang. Aku tidak menggubrisnya. Kutarik selimut agar menutupi seluruh tubuhku.

"MALIKA!"

Sontak aku langsung terbangun. Menutup rapat kedua telingaku. Siapa yang berani membangunkanku dengan cara barbar seperti ini. Mamah dan papah tidak pernah membangunkanku seperti ini. Atau jangan-jangan bukan hanya pola pikir tetapi juga perilaku kedua orang tuaku ikut berubah lantaran pengaruh dari komunitas-komunitas religi yang mereka ikuti itu. Aku menoleh kesamping mencari tahu siapa tukang rusuh yang telah mengganggu mimpi indahku. Demi melihat orang itu kedua bola mataku membulat sempurna, "KAK NISA?"

"Ya aku Nisa, sepupumu." ucapnya datar.

"Ngapain kakak dikamarku pagi-pagi begini?" aku memasang raut kesal

"Hei Sadar. Lihat jam dinding itu, ini sudah siang Malika, bukan pagi lagi" telunjuknya mengarah pada jam silver dikamarku.

Aku mengikuti arah telunjuknya. Memangnya kenapa? Pagi ataupun siang sama saja menurutku. Toh, semenjak lulus dari SMA aku terbiasa bangun jam segini. "Kenapa kakak menarik telingaku? Bisakan membanguninya dengan cara yang halus." pagi-pagi dia sudah membuatku emosi.

"Kamu itu nggak mempan dengan cara yang halus. Kamu nggak tahukan sudah berapa lama aku berdiri disini hanya untuk membangunkanmu. Kakiku sampai pegal rasanya." kak Nisa menghentak-hentakkan kakinya.

Berlebihan, batinku. "Terus mau ngapain kakak kesini?"

"Diminta om Husein untuk menemanimu selama tiga puluh hari kedepan, inshaallah."

Oops, aku lupa kalau tadi malam sudah membuat kesepakatan dengan papah. Tapi tunggu, kak Nisa nggak masuk dalam kesepakatan bukan?

"Sudah nggak usah banyak mikir. Sana mandi dulu." kak Nisa menarik selimutku.

"Ih apaan sih kak. Nggak usah perintah-perintah aku. Lagi pula nanti saja belajarnya. Nanti kalau aku yang minta kakak untuk datang kesini." aku menatapnya kesal. Berani sekali dia mengomandoku.

"Hey. Bukan kamu yang seharusnya mengatakan itu, tapi aku." tatapannya membuaktu merinding. "Sekarang ikuti perkataanku atau aku pastikan kamu tidak akan menginjakkan kaki di universitas impianmu itu."

Oh, jadi sekarang malah mengancamku ya. Aku menatapnya tak mau kalah. Eh, tetapi demi universitas, biarlah aku menuruti apa maunya. Aku berdecak kesal turun dari ranjang berjalan menuju kamar mandi. Dari ekor mataku, aku melihatnya tersenyum puas. Dasar sepupu ganas.

Beberapa jam kemudian aku telah selesai berjibaku dengan berbagai peralatan dikamarku. Sejak tadi aku terus menyunggingkan senyum membayangkan wajah kesal kak Nisa. Aku sengaja memperlambat gerakku biar dia lama menunggu. Makanya jangan sok jadi penguasa di wilayah teritorialku.

"Kak, ayo kita mulai belajarnya" dengan santainya aku duduk didepan kak Nisa.

Kak Nisa tampak kaget melihatku sembari menggelengkan kepalanya, "Ganti pakaianmu Malika"

Aku menatap pakaian yang kukenakan, memangnya kenapa? Ada yang salah? "Aku nggak mau" ucapku tegas. Dibanding mempertanyakan sebuah alasan, aku lebih suka memberi persetujuan atau penolakan karena pertanyaan-pertanyaan itu hanya muncul dalam otakku saja. Jadi dalam kamusku hanya ada dua hal menerima atau menentang.

"Bajumu itu tidak pantas digunakan saat kita belajar" enteng sekali dia mencercaku seperti itu.

"Oh, ayolah kak sekarang kita ada dirumah tidak perlu memakai pakaian resmi, toh tidak ada yang melihat selain orang rumah."

"Aku nggak mau tahu. Pokoknya ganti pakaianmu sekarang."

"Aku juga nggak mau menuruti perkataanmu kak. Memangnya aku harus pakai baju apa? Daster gitu?"

"Pakai saja baju daster jika itu lebih sopan dibandingkan dengan bajumu yang kekurangan bahan ini."

Ck, aku bingung apa benar dia ini sepupuku, bagaimana mungkin tanteku yang lemah lembut itu melahirkan anak seganas ini. Tingkahnya sudah seperti ibu tiri saja.

"Kamu nggak mau mengganti pakaian? Kalau begitu saya pulang saja dan bilang pada om Husein bahwa kamu bersedia masuk ke pondok pesantren."

Grrr,,, rahangku mengeras. Rasanya aku ingin mencekik perempuan yang duduk manis didepanku ini atau kalau perlu ku mutilasi saja dia biar nggak seenak jidatnya mengancamku. Pantas saja dia belum menikah diusianya yang sudah setua ini. Para lelaki pasti takut dengan keganasannya. "Oke aku ganti baju." aku menghentakkan kaki bangkit dari hadapannya.

"Jangan lupa pakai kerudung"

Aku menutup telingaku. Suaranya itu sudah seperti suara nyamuk, menyebalkan.

"Nah beginikan lebih bagus" Suara dengungan kak Nisa menyapaku lebih dulu saat aku kembali dari kamar dengan style seperti ini. Serba tertutup.

Aku tidak mau menanggapi ucapannya.

"Oke hari ini kita hanya melakukan perkenalan saja. Seperti saat disekolah ataupun kuliah yang dilakukan pada hari pertama adalah sesi perkenalan atau adaptasi. Karena kita sudah saling kenal maka aku tidak perlu memperkenalkan diri. Selama dua puluh sembilan hari kedepan, inshaallah kamu akan terus berjumpa denganku oleh karena itu mohon kerja sa.."

"Langsung aja kak ke inti pembahasan. Nggak usah berbelit-belit" ucapku menginterupsi perkataanya yang panjang kali lebar itu.

"Aku tidak akan menanggapi ocehanmu itu karena disini akulah yang memegang kendali jika kamu ingin om Husein mengabulkan keinginanmu maka bersikap baiklah padaku"

Aku memutar bola mata, malas.

"Disini ada dua hal yang ingin kusampaikan, pertama tentang peraturan yang harus kamu patuhi dan kedua terkait silabus pembelajaran selama dua puluh sembilan hari kedepan. Peraturan pertama kamu harus menuruti semua perintahku dan kedua berhentilah menjadi gadis yang pembangkang karena semakin sering kamu membangkang maka peluangmu untuk masuk universitas akan semakin sulit pula."

Lagi-lagi dia mengancamku.

"Lalu untuk silabus aku sudah membuatkannya untukmu. Sebentar. Semoga ini efektif" dia menyodorkan selembar kertas padaku.

Aku meraih kertas itu sembari membacanya dengan cepat. Aku memicingkan mata melihat deretan tabel yang ada ditanganku. Kenapa tidak ada jadwal mengenai cara berpakaian longgar. Menurutku itu adalah hal penting yang harus kupelajari. Aku harus tahu bagaimana caranya agar nyaman memakai pakaian longgar itu sehingga papah dan mamah lebih mudah percaya bahwa aku sudah berubah. Aku mempercayai sebuah doktrin bahwa penampilan mewakili segalanya. Aku tidak begitu setuju dengan peribahasa atau apalah orang menyebutnya yang mengatakan 'Don't judge a book by its cover' padahal faktanya tetap saja penampilan menjadi penilaian utama. Buktinya jika ada seseorang melamar kerja dengan penampilan yang acak-acakan akankah dia langsung diterima meski dengan seabrek prestasi? Tentu saja tidak bahkan mungkin sebelum dia memberikan cv-nya dia sudah diusir terlebih dulu. Pernah melihat presiden memakai pakaian kucel? Tentu tidak bukan. Atau pernah melihat orang melayat dengan pakaian yang tidak pantas, aku rasa juga tidak. Eh tapi kenapa harus membahas tentang kematian. Aku bergidik ngeri.

"Oh iya tambahan lagi, jadi selama dua puluh sembilan hari kedepan kamu harus memakai pakaian syar'i minimal saat kita melakukan pertemuan seperti ini.

Apa? Pendengaranku masih berfungsi dengan baik bukan? Kenapa aku harus memakai pakaian ibu-ibu setiap hari? Kenapa tidak dikhususkan di satu atau dua hari saja? Memangnya dia tidak tahu kalau pakaian itu bisa menghambat ruang gerakku.

"Eits, tidak boleh membantah. Ikuti apa yang aku perintahkan" ucapnya saat melihatku membuka mulut hendak menolak. "Besok kamu sudah harus memakai pakaian syar'i karena tadi tante dan om pamit untuk membeli beberapa pasang baju."

Oh My God benar-benar persekongkolan yang terencana.

***

30 HARI MENGETUK PINTU NYA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang