8. Kembali berjuang

103 6 0
                                    

Empat hari yang lalu aku sudah kembali kerumah. Rasanya lega sekali kembali menghuni kamar kesayangan dan makan masakan mamah. Dan hal lain yang membuat aku lebih lega plus bahagia adalah proses belajar mengajarku dengan kak Nisa di tiadakan. Itu artinya aku mendapat dispensasi selama sakit. Namun rasanya tidak puas jika empat hari saja, maka aku menambah hari libur belajarku. Aku memberikan banyak alasan agar kak Nisa tidak datang. Berbekal riwayat DBD, kak Nisa mudah saja kukelabui dan akhirnya aku terbebas darinya.

Dari ruang tamu, samar-samar kudengar percakapan antara papah dan mamah yang membuatku tertarik untuk mencuri dengar, karena mereka baru saja menyebut namaku.

"Pah, nggak ada kemungkinan-kemungkinan lain?"

"Nggak ada mah, keputusan papah sudah bulat. Malika, papah beri waktu tiga puluh hari jika dia gagal melaksanakan perintah papah maka dia otomatis masuk ke pesantren bukan universitas."

"Tapi pah, dia itu sakit karena terlalu memporsir waktu belajarnya"

"Itu sudah konsekuensinya mah"

"Pah, kasihan Malika. Nanti kalau dia sakit lagi bagaimana?"

"Papah lebih senang melihat dia sakit didunia daripat sakit di akhirat sana karena siksa Allah"

Hening.

Setelah kalimat terakhir papah kudengar, tidak ada percakapan lagi diantara mereka. Aku meringkuk diatas dinginnya lantai. Mencerna setiap kata yang mereka ucapkan. Bahwa sakitku sama sekali tidak membantu, mereka tetap akan membawaku ke pesantren karena sejak awal itulah tujuan utama mereka. Dadaku bergemuruh hebat menyadari kesempatanku masuk ke universitas terancam. Mengapa untuk berada dekat dengannya terasa begitu sulit.

Aku bangkit, meraih ponsel yang tergelatak diatas kasur lalu mendial kontak seseorang. Melakukan panggilan video call.

"Halo"

"Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh"

"Wa'alaykumsalam"

"Ada apa?"

"Kak, belajar tajwidnya bisa kita lanjutkan?"

"Bukanya kamu masih sakit."

"Aku sudah sembuh kak. Sekarang kita bisa lanjutkan materi lagi"

Hening.

"Kak, bantu aku. Please" rengekku.

"Aku pikir kamu sudah menyerah" ucapnya tanpa menatap raut memelasku.

"Nggak. Aku nggak mungkin menyerah, apalagi ini berhubungan dengan masa depanku. Tolong aku kak."

"Kamu kehilangan banyak kesempatan"

"Aku akan menuruti semua keinginanmu kak. Aku janji nggak akan membantah" rayuku padanya

"Aku tidak yakin" ucapnya ragu

"Berapa besar peluangku jika aku bersungguh-sungguh"

"Tipis. Dilihat dari payahnya pemahamanmu, aku semakin ragu."

"Aku pastikan aku mampu kak"

"Kita lihat saja nanti"

***

Aku tersenyum menatap kak Nis. Tidak seperti biasanya, kali ini aku merasa sangat bahagia melihatnya datang. Setelah berbasa-basi kak Nisa memulai pembelajaran. Karena seminggu kemarin tak ada materi yang kupelajari, maka kak Nisa merubah silabus yang sebelumnya dia buat. Setelah itu kak Nisa menjelaskan bahwa waktu belajar ditambah menjadi 3 jam perhari, materi-materi menjadi lebih padat, dan dia memintaku untuk fokus selama belajar.

"Baiklah kita mulai materi hari ini, apa pembahasan kita hari ini?"

"Tentang sholat"

"Benar sekali. Jadi setelah mempelajari ilmu tajwid hal selanjutnya yang wajib kamu pelajari adalah perkara shalat karena sholat adalah ibadah pertama yang kelak akan dihisab. Pertanyaan selanjutnya, apakah kamu mengerjakan sholat lima waktu dalam sehari?"

Aku menggeleng. Kulihat raut kak Nisa berubah seperti orang yang frustrasi. Apa dia baru saja merendahkanku lantaran sholatku yang seperti jaring? Renggang. Oke aku akui, aku shalat hanya saat mamah dan papah memaksa.

"Aku beritahu kamu sebuah rahasia."

Aku berusaha untuk memperhatikannya meski aku sama sekali tidak tertarik dengan rahasia yang kak Nisa maksud.

"Alasan kenapa om Husein ingin mengirimmu ke pondok pesantren."

Tubuhku bereaksi. Sepertinya pembahasan ini akan menarik. Sejak awal papa memutuskan untuk memasukkanku ke pesantren, aku tidak bisa tidur lantaran pertanyaan tentang kenapa kedua orang tuaku ingin mengirimku kesana. Jelas sekali mereka sudah tidak menyangiku lagi. Dan seperti inilah aku, pertanyaan-pertanyaan itu hanya muncul dari kepalaku bukan dari mulutku. Ketimbang menanyakan berbagai jawaban, aku lebih memilih diam menciptakan kesimpulan sendiri.

"Tapi sepertinya kamu nggak tertarik. Baiklah kita langsung ke materi saja." suara Kak Nisa menghancurkan lamunanku.

"Cerita saja kak nggak usah bertele-tele" ucapku ketus demi menutupi rasa penasaranku.

"Masih belum berubah? Sepertinya aku salah mengambil keputusan untuk kembali menemuimu"

"Bu-bukan. Maksudku silahkan dilanjutkan kak Nisa yang cantik, baik hati dan tidak sombong" dalam hati aku membalik semua ucapanku.

"Baiklah karena kamu memaksa, maka aku putuskan untuk bercerita." kapan aku memaksanya? "Jadi kenapa om dan tante bersikeras agar kamu masuk ke pesantren itu karena mereka sangat menyangimu" bukan sayang namanya kalau mereka menentang keinginanku, batinku menolak.

"Kamu tahu sendiri bukan bahwa saat ini mereka sudah hijrah" oh berubah jadi religius itu namanya hijrah ya. "Mereka paham betul mana yang baik dan mana yang buruk. Oleh karena itu mereka memutuskan memilih pesantren ketimbang mengikuti keinginanmu karena mereka akan merasa tenang jika kamu ada dipesantren. Setidaknya disana kamu akan semakin dekat dengan Allah, ibadah yang dikerjakan lebih terkendali. Terlebih tentang perihal shalat, mana ada anak pesantren yang nggak melaksakan shalat lima waktu kecuali karena uzur syar'i bagi perempuan. Itu yang mereka harapankan terjadi padamu saat di pesantren nanti."

Aku memilih diam karena tak ingin kak Nisa menyindirku jika meotong kalimatnya.

"Lalu kenapa kemudian om Husein memberikan izin bersyarat? Itu karena qadarullah jika nantinya kamu masuk ke universitas, om Husein tidak begitu khawatir karena kamu sudah mempelajari dan mengamalkan ibadah wajib selama kurang lebih sebulan. Ya, meski itu adalah waktu yang sangat singkat."

Awalnya aku terhenyuk mendengar penuturan kak Nisa namun kalimat terakhirnya itu membuatku pening seketika. Sebulan dia bilang singkat? Bagiku itu sudah berpuluh-puluhan tahun lamanya karena harus berhadapan dengan dirinya.

"Ini buku yang harus kamu baca sebelum kita mulai peraktik sholat" Kak Nisa menyodorkan sebuah buku tebal kepadaku.

Aku mengambil buku itu lalu membaca judulnya 'Sifat Shalat Rasulullah Shallallahu 'alahi wa salllam'

"Kuberi waktu satu minggu untuk menyelesaikan buku itu."

Apa? Satu minggu untuk membaca buku setebal ini? "Aku nggak bisa. Waktunya terlalu singkat" ucapku menahan kesal.

"Oh terlalu singkat ya? Kalau begitu aku beri waktu lima hari buku itu sudah harus selesai kamu baca"

Sontak mataku membelalak kaget. Wanita didepanku ini tidak sedang sakit bukan? "Jangan bercanda kak. Itu bukan menambah tapi mempercepat waktu. Aku yakin kamupun tidak bisa menyelesaikannya hanya dengan lima hari saja."

"Jadi maksudmu waktunya masih sangat singkat ya? Ya sudah kalau begitu..."

"STOP. Oke lima hari. Titik. Jangan dikurangi lagi" apa-apaan kak Nisa ini, sepertinya dia mau mengirimku kembali kerumah sakit.

"Kau tahu sendiri Malika bahwa waktumu tidak banyak. Jadi jangan mencoba untuk mengulur-ngulur waktu. Lagi pula kemana semangatmu saat kemarin memintaku untuk kembali kesini? Sudah menguap ya? Sangat amat tidak konsisten. Tidak bisa dipercaya"

Seseorang tolong jauhkan dia dari jagkauanku. Amarahku sudah naik ke ubun-ubun.

30 HARI MENGETUK PINTU NYA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang