7. Fatimah Az Zahrah

107 8 0
                                    

Aku mengerjap berulang kali saat mataku tidak siap menangkap silaunya cahaya yang menerpa. Kupandangi sekeliling, ternyata masih sama seperti kemarin. Ruangan yang di donimasi cat putih tulang, nakas yang masih ditempati buah-buahan dan makanan, serta aku yang masih terbaring diatas brankar. Ya, saat ini aku berada dirumah sakit. Menurut cerita mamah kemarin aku ditemukan pingsan di kampus kemudian dibawa kesini. Aku terkena demam berdarah itu kata dokter yang kudengar saat aku sudah sadar.

Sejak kemarin tidak banyak yang menjenguk, hanya teman-temanku dan kak Nisa. Memangnya siapa lagi yang kuharapkan untuk datang menjenguk? Dia yang terakhir kali kulihat dikampus? Impossible.

***

Berada dirumah sakit bukan hal yang menyenangkan. Disini aku merasa sangat bosan. Apalagi kalau sendiri seperti ini. Papah kekantor dan mamah baru saja kembali kerumah. Aku berinisiatif untuk keluar dari ruangan ini. Didepan pintu ruangan, aku mengedarkan pandangan kekiri dan ke kanan. Diujung lorong mataku menangkap kursi yang tersusun rapi, barangkali itu ruangan khusus untuk para pengunjung. Aku duduk di salah satu kursi yang ada di sudut ruangan yang berdinding kaca. Dari sini rumah-rumah tampak sangant kecil, bisingnya suara kendaraan tidak begitu jelas terdengar. Entah di ketingian berapa aku kini berada.

"Ekhm,,, boleh duduk disini mba?"

Aku mendongak, menatap seorang perempuan yang baru saja bertanya. Kuanggukkan kepala, bergeser ke kanan memberinya sedikit ruang.

"Sendiri aja mba?"

Aku menatap perempuan disampingku. Dia baru saja bertanya padaku bukan? Lagi, aku merespon dengan sebuah anggukan.

"Sama, aku juga sendiri disini. Dari kemarin belum ada yang jenguk"

Aku kembali menatap wanita disampingku, kira-kira usianya sepantaran denganku. Haruskah aku berempati padanya? Aku memilih diam tidak menanggapi.

"Namaku Sarah, mba namanya siapa?"

"Malika, Malika Az-Zahra" jawabku kemudian

Kulihat sudut bibirnya tertarik "Pasti kedua orang tua mba mengagumi sosok Fatimah Az-zahra ya?"

Aku menatapnya bingung, siapa itu Fatimah Az-Zahra? Dia artis atau ilmuan? Papah dan mamah tidak pernah bercerita tentang asal muasal namaku.

"Wanita yang dijamin masuk syurga oleh Allah, putri kesayangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam"

Oh, aku mengangguk.

"Sosok yang seharusnya kita- kaum wanita jadikan panutan. Saat masih kanak-kanak, ia adalah anak yang sangat pemberani. Membela ayahnya dari orang-orang yang memusuhi Rasulullah. Saat ia remaja, ia tumbuh menjadi gadis yang sangat cerdas ada juga kisahnya yang paling mashur yaitu kisah cinta dalam diamnya. Saat menjadi isteri dia adalah isteri yang taat. Dari rahimnyalah tumbuh anak-anak luar biasa yang dikenang sepanjang masa."

Aku menatap Sarah, takjub. Dia berani bercerita panjang lebar dengan orang asing yang baru saja dia temui. Terlebih wajah teduhnya menarikku untuk terus mendengarkan ceritanya. Cerita yang dia sampaikan membuatku berpikir memangnya ada wanita sehebat itu?

Waktu terus berlalu, aku dan Sarah hanyut dalam diskusi panjang. Rasa bosan yang tadi melanda, menguap seketika.

"Zahra, kakakku baru saja mengirim pesan kalau dia akan datang menjenguk" raut bahagia tampak jelas diwajahnya.

"Syukurlah. Itu artinya kamu nggak sendiri lagi"

Sarah mengangguk sembari terus menyunggingkan senyum.

"Kalau begitu aku masuk dulu ya Sarah, rasanya aku sudah mengantuk."

"Kamu nggak mau menemaniku mengobrol dengan kakakku?"

"Maaf. Lain kali saja ya. Lagipula aku nggak mau mengganggu waktu kalian"

"Baiklah. Selamat istirahat Zahra."

Aku tersenyum. Melambaikan tangan, salam perpisahan.

***

"Gimana Ka, tes kemarin? Sulit nggak?" Reny menatapku penuh tanya. Dia tahu betul bahwa tes itu adalah jalanku menuju universitas.

"Paling si Malik jawab soalnya asal-asalan"

Aku melempar Ucup dengan potongan buah yang kupegang. "Memangnya kamu, yang suka jawab soal sembarang."

"Oh, jangan salah aku nggak pernah jawab soalnya sembarangan. Aku selalu menggunakan insting kalau menjawab. Insting kancing baju" seketika benda-benda melayang mengenai Ucup

"Kalau punya otak dibawah standar itu jangan dipelihara Cup." Doni menimpali

"Ededeh malunya kurasa punya teman seperti kau itu Cup?"

"Gaya kamu Bas, yang ngajarin aku pakai kancing baju itu kamu." Ucup balik melempar Baso

Baso menyambut buah yang dilempar kearahnya lalu memakannya. "Akulah panutanmu Cup"

Tawa mereka memenuhi ruangan. Dasar para bedebah.

"Nggak ada untungnya mengajak mereka kesini" Reni yang tampak emosi mendekati barankarku. Sementara ketiga lelaki itu asik dengan obrolan mereka masing-masing. "Gimana dengan tesmu kemarin?" dia kembali mengulang pertanyaan yang belum kujawab.

"Tenang aja Ren, aku sudah berusaha menjawab soal-soal itu dengan baik. Tinggal tunggu hasilnya saja"

Reny menghela napas lega. "Bagaimana rasanya berada diatap yang sama dengan dia yang dipuja?" Reny menatapku sambil menaik-turunkan alisnya.

"Seperti makan Petai tapi berasa coklat"

Sontak Reny menyundul jidatku, "Apaan, nggak elit baget kiasanmu"

Aku tertawa melihat wajah masam Reny.

30 HARI MENGETUK PINTU NYA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang