10. Dunia Baru

111 6 0
                                    

"Kita akhiri pertemuan hari ini dengan membaca istighfar tiga kali. Dilanjutkan dengan membaca doa kafaratul majlis. Disempurnakan dengan membaca hamdalah. Alhamdulillah. Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh"

"Waalaikumussalam" bergegas aku membersihkan buku-buku yang berserakan. Kasur, I'm coming.

"Malika, setelah ini tolong bantu aku ya?" interupsi kak Nisa

"Nggak bisa kak. Aku ada kegiatan"

"Jangan bohong. Aku tahu kamu free hari ini"

"Siapa yang bohong, aku memang ada kegiatan kok"

"Kegiatan apa?"

"Tidur cantik. Jangan ganggu aku kak, aku mau istirahat hari ini."

"Kamu sudah terlalu banyak istirihat. Sekarang bantu aku. Temani aku ke suatu tempat"

Sebelah alisku terangkat

"Tempatnya sangat bagus loh"

Mendengar ucapan kak Nisa, membuat imajinasiku berkelana. Aku membayangkan tempat-tempat kerren yang tentunya sangat istagramable. Baiklah tak apa aku menemaninya sekalian hunting foto kalau gitu.

"Bagaimana, mau nggak?"

"Cepat" aku bangkit lebih dulu

***

Bayangan akan tempat yang indah hanya menjadi angan semata. Kini aku berdiri tepat dibawah jembatan. Sampah berserakan dimana-mana, botol dan kardus hampir memenuhi area. Disana kulihat anak-anak saling berkejaran, ada pula yang berada didekat tumpukan botol bersama orang tuanya. Entah apa yang mereka buru ditumpukan itu.

"Malika, ayo! Ngapain berhenti disitu"

Aku memandangi kak Nisa yang berjalan lebih dulu bersama teman-temannya. Aku menggelengkan kepala.

Kak Nisa berbalik menghampiriku, "Ayo! Mereka sudah menunggu"

"Aku mau pulang"

"Nggak ada yang boleh pulang sebelum urusan kita dengan mereka selesai"

"Itu urusanmu dengan teman-temanmu. Aku nggak punya urusan disini"

"Malika kamu nggak kasian dengan mereka? Lihat mereka menghentikan aktifitas mereka demi menyambut kita"

Aku melihat para penghuni kolong jembatan ini sedang menatap kami. Bahkan anak-anak yang tadi bermain ikut berhenti dan melambaikan tangan pada kami.

"Ayo!"

"Aku nggak mau kak"

"Kamu sudah berjanji untuk menuruti permintaanku bukan?"

"Tapi bukan permintaan seperti ini kak"

"Ini bagian dari proses pembelajaran 30 hari. Atau kamu mau aku menelpon om sekarang?"

Lagi, aku tak berkutik dihadapan kak Nisa. Aku menghentakkan kaki berjalan didepannya.

Berjam-jam aku duduk disini, mendengarkan percakapan antara kak Nisa dan temannya para relawana dengan para penghuni dibawah jembatan ini. Sesekali aku menutup hidungku karena bau yang sangat menyengat bahkan aku sampai bergidik ngeri melihat banyaknya lalat yang berterbangan. Kak Nisa kapan kita pulang?

Kak Nisa yang duduk disampingku menatap sekilas. Dia pasti merasakan kegelisahanku. Namun percuma dia tetap tidak menggubrisnya. Dia malah asik menyusun jadwal untuk mengajari para orang tua dan anak-anak di area ini. Aku tidak lagi memperdulikan mereka yang kumau hanya pulang.

Dua jam berlalu, setelah para relawan itu berbincang panjang kali lebar, membagi-bagikan barang yang mereka bawa, serta menemani anak-anak bermain akhirnya kami pulang. Meninggalkan kolong jembatan jauh dibelakang.

Keesokan harinya kehidupanku kembali terusik. Siapa lagi kalau bukan kak Nisa yang menjadi biang masalahnya. Dia memintaku untuk kembali menemaninya ke tempat kemarin. Kolong jembatan.

"Aku nggak mau kesana kak"

"Kamu harus mau Malika. Aku nggak mau mendengar penolakan."

"Jangan memaksa kak"

"Aku nggak akan memaksa kalau kamu mau menurutinya. Lagian apa susahnya sih ikut kesana. Disana kamu akan mengajari anak-anak, berbagi ilmu. Insyaallah lebih berfaedah daripada kamu keluyuran nggak jelas gitu"

"Pokoknya aku nggak mau"

Kulihat kak Nisa mulai geram, "Sepintar apa sih kamu sampai nggak mau berbagi ilmu sama mereka? Sepopuler apa sih kamu ini sampai nggak mau berbaur bersama mereka. Ingat Malika kita dan mereka itu sama, sama-sama makhluk Allah. Jangan bersifat langit kalau awal dan akhirmu itu adalah tanah"

Aku bungkam seketika.

Pada akhirnya aku kembali duduk disini, diatas tumpukan kardus yang dikelilingi oleh lima orang anak. Tugasku disini adalah memperkenalkan huruf hijaiyah pada mereka yang ternyata sama sekali tidak pernah ikut kelas mengaji sebelumnya.

"Perhatikan iqro'nya masing-masing. Ini huruf Alif"

"Allif"

"Ba"

"Ba"

"Ta"

"Ta"

"Tsa"

"Sa"

"Beda. Ini yang titiknya tiga dibaca Tsa"

"Sa"

"Bukan Sa adik-adik. Tetapi Tsa. Ujung lidahnya sedikit digigit. Jadi yang keluar itu bukan Sa tetapi Tsa. Coba diulang lagi"

"Sa"

"Bukan Sa. Kakak kan sudah bilang dari tadi ini huruf Tsa. Tsa. Tsa. Kenapa kalian nggak bisa bisa sih"

"Maaf kak ini baru pertama kalinya kami mengaji. Hurufnya terlalu susah"

Aku tertegun. Kenapa aku sangat emosianal mengajari mereka. Padahal sewaktu kak Nisa mengajariku akupun mengalami kesulitan, nggak langsung bisa hanya dengan sekali baca. Aku mencoba tersenyum pada mereka, "Nggak susah kok, kuncinya kita harus sering-sering membacanya kalau sudah terbiasa pasti bisa." ucapku melembut.

Kesibukanku disetiap harinya bertambah, sekarang aku tidak hanya belajar pada kak Nisa tetapi aku juga mengajari anak-anak di bawah kolong jembatan membaca dan mengaji. Lambat laun aku mulai menerima keadaan ini. Bau yang menyengat tidak lagi menjadi persoalan. Lalat yang berterbangan tidak kuhiraukan. Kini aku menemukan kehidupan yang baru bahwa kebahagiaan tidak hanya ditemukan ditempat yang nyaman disinipun ada beribu kebahagiaan yang tersimpan. 

30 HARI MENGETUK PINTU NYA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang