3. Berdebat

154 8 0
                                    

Sejak beberapa menit lalu aku sudah tidak tenang, duduk berdua dengan kak Nisa ditambah dengan pakaian yang menutupi seluruh tubuh, seperti memakai selimut saja, lengkaplah penderitaanku. Gerah dan sesak itulah yang kurasakan. Setiap kali aku membuka kerudung yang kukenakan, kak Nisa pasti memberiku tatapan elang dan bodohnya aku mau saja menurutinya.

"Jadi sesuai dengan silabus yang sudah aku berikan kemarin bahwa waktu efektif kita yaitu dua jam dan di minggu pertama ini apa yang akan kita pelajari Malika?"

Aku yang asik menstalking akun instagram sesorang, mengalihkan fokus menatap perempuan yang baru saja menyebut namaku. "Silabusnya kamu yang buat kak. Kenapa harus tanya aku?" aku kembali menatap layar ponselku.

"Malika taruh ponselmu. Kita sedang belajar." aku pastikan kak Nisa sedang menatapku dengan bola mata yang hendak keluar

"Nggak mau. Lagian aku masih dengar kok kamu bicara apa. Jangan berlebihan deh kak" ucapku dengan santai.

"Malika turuti perkataanku atau aku sita ponselmu itu hingga dua puluh delapan hari kedepan."

Aku menghembuskan napas kasar. Perempuan ini benar-benar pandai merusak moodku, "Kak Nisa 'mengancam orang' itu sudah menjadi hobimu ya? Heran deh dari kemarin kerjanya cuma bisa mengancam." aku bersungut-sungut memandangnya.

"Kalau iya kenapa? Ada masalah? Kamu lupa ya kalau kita sudah membuat kesepakatan kemarin?"

Aku diam namun memberinya tatapan menantang.

"Sekarang simpan ponselmu dan ambil silabus yang kemarin aku berikan" ucapnya dengan raut mengintimidasi.

Meski enggan, aku bangkit dari dudukku. Dalam hati aku terus menahan diri agar tidak memutilasi sepupuku sendiri.

Sesampainya dikamar, emosiku semakin memuncak pasalnya aku lupa dimana meletakkan kertas pembawa masalah itu. Kondisi kamarku sudah tidak karuan. Aku mengobrak-abrik kamarku karena selembar kertas. Kertas saja bisa membuatku emosi apalagi bertemu dengan si pemberi kertas itu, seolah tanduk dikepalaku tumbuh pesat jika berhadapan dengannya. Oke Malika, tenang. Inhale, exhale, inhale, exhale. Reply kejadian kemarin. Dimana kamu meletakkan kertas itu.

Aku lupa menjelaskan bahwa aku adalah makhluk pelupa. Makin hari kadar pelupaku makin parah. Pernah suatu hari aku bangun kesiangan, alhasil semua persiapan ke sekolah kukerjakan dengan terburu-buru. Saking takutnya terlambat aku sampai berlari keluar pagar. Ditengah perjalan aku teringat bahwa aku sedang menggenggam kunci motor, lalu untuk apa tadi aku berlari. Dan anehnya kenapa malah kejadian itu yang tertanam kuat dalam ingatanku. Padahal aku sudah katakan bahwa aku ini pelupa.

Oke karena mengingat kejadian dimasa lalu maka ingatan tentang kejadian kemarinpun kembali terulang. Aku ingat sekarang dimana aku meletakkan kertas itu. Di tong SAMPAH. Bergegas aku berjalan kesudut ruangan. Mengais sampah demi selembar kertas. Yes, aku mendapatkannya meski dengan bentuk yang sudah tidak beraturan lagi.

"Kupikir kamu tidur atau kembali menjadi stalker dikamar." ucap kak Nisa sinis saat aku kembali duduk didepannya.

Aku mendelik, "Ternyata dipikiranmu itu bukan tentang mengancam saja kak, tetapi juga diisi dengan pikiran-pikaran yang negatif" telak aku mengatainya.

"Dan kamu nggak cuma jadi manusia yang pembangkang tetapi juga lamban."

Apa? Dia baru saja balas mengataiku? "Aku nggak tertarik untuk berdebat denganmu kak" aku menyandarkan punggung pada sandaran sofa. Malas sekali meladeninya.

"Oke, kembali ke pertanyaan tadi, untuk satu minggu kedepan materi apa yang akan kita bahas?" tanyanya dengan tatapan mengintimidasi

"Ilmu tajwid" jawabku singkat, sekilas melihat silabus.

30 HARI MENGETUK PINTU NYA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang