Mata

282 51 6
                                    

Hutan Aokigahara, Jepang.
_

Ngaak! Ngaak!

Suara dari burung gagak yang beterbangan di langit makin menambah suasana khas hutan Aokigahara. Seram.

Seperti yang sudah masyarakat Jepang tahu, hutan ini kerap disebut menjadi tempat peristirahatan favorit untuk orang-orang yang sudah putus asa menjalani hidup. Dengan kata lain, hutan ini adalah tempat untuk bunuh diri.

Padahal, ada banyak papan peringatan dan papan himbauan untuk tidak melakukan bunuh diri disini. Namun, apalah arti sebuah papan peringatan disertai nasihat jika tubuh sudah diselimuti rasa keputus asaan. Jangankan papan berisi tulisan, nasihat yang diberikan dari orang hidup saja tidak mempan untuk menerangkan kembali jiwa orang-orang yang sudah menghitam.

Bau busuk yang seliweran, dan tulang-belulang manusia mati menjadi hal yang pertama terbayang ketika mendengar kata 'Hutan Aokigahara'. Maka dari itu, sebagian masyarakat Jepang enggan menginjakan kaki di hutan ini meski hanya untuk sekedar melihat-lihat.

Sraak, Krak.

"Suara apa itu?"

"Apa ada orang disana?!"

Seorang polisi hutan bertubuh tegap yang sedang berpatroli menyorotkan senter pada semak yang menghasilkan bunyi gemerisik. Raut wajahnya menunjukan dua hal; takut, tapi penasaran. Sebelum mendekat, ia melirik ke arah jam tangannya--mengecek pukul berapa sekarang ini. Rupanya masih pukul setengah tujuh malam.

Sembari menghela nafas, polisi hutan itu membuang semua pikiran anehnya dengan mengatakan pada diri sendiri "Baru setengah tujuh, mana mungkin ada hantu. Paling musang." Begitulah kurang lebih isi kepala si polisi.

Sraak! Ksraak!

Kali ini bunyi gemerisiknya lebih kencang. Jantung sang polisi terpacu, namun tidak menghalangi tekadnya untuk tetap maju.

"Lapar..."

Suara lemah terdengar dari balik semak. Polisi hutan yang sedang patroli itu dibuat ragu, musang 'kan tidak bisa bicara.

"S-siapa itu?" Tanya si polisi hutan sedikit ketakutan.

Selang beberapa detik, tiba-tiba menyembul keluar kepala anak kecil mengintip dari balik semak. Matanya yang berwarna terang begitu mencolok meski tidak disorot senter.

Polisi hutan yang melihat hal itu masih berdiri ditempat, gigi atas dan bawahnya saling beradu. Ia menggigil ketakutan membayangkan wujud yang akan segera menampakan diri sepenuhnya.

Sosok yang berada di balik semak-pun mulai berdiri. Tubuhnya kecil, rambutnya pirang madu, dan wajahnya lusuh karena kotor dimana-mana. Polisi hutan langsung menyorotkan senter ke arahnya. Ketika melihat mata sosok kecil itu yang tengah menatapnya...

"Aaaaaaaaa! Hantuuuuu!"

***

"Komandan! Haah... Ha... Komandan, ada hantu!"

"Hm? Hantu? Ayolah nak, jangan bercanda." Bapak tua berkumis tebal yang dipanggil 'Komandan' itu menanggapi remeh laporan bawahannya, Kiyoteru.

"Saya tidak bercanda, pak! Percayalah, tadi saya melihat hantu!"

"Dimana kau melihatnya, huh?"

"Disana! Saya bisa tunjukan tempatnya."

Awalnya, bapak komandan tidak tertarik melihat hantu yang dilihat oleh Kiyoteru. Namun karena wajah sungguh-sungguh yang Kiyoteru perlihatkan, akhirnya ia setuju. Berangkatlah kedua polisi hutan itu menuju tempat yang dimaksud Kiyoteru.

"Dimana hantunya?" Komandan Yamazaken bertanya dengan alis terangkat.

Kiyoteru menyorotkan senternya kembali pada semak tadi. Tidak ada apapun disana. Keringat mengalir dipelipisnya, takut dicap pembohong oleh komandan Yamazaken.

"Kau tidak berniat membohongiku 'kan, Kiyoteru?"

"Ti-tidak pak komandan! Saya berkata jujur. Tadi hantunya ada disini, terlihat seperti anak kecil! Rambutnya pirang, tingginya hanya sepinggangku, lalu---"

"Maksudmu itu?"

Komandan Yamazaken menyorotkan senter miliknya pada bocah yang tengah memeluk lutut dibawah pohon besar dekat semak.

"Waaa!!! I-iya! Itu! Itu hantunya!"

Wajah komandan Yamazaken seketika berubah menjadi datar. Sedatar tembok kantor polisi. Ia terkejut, ternyata Kiyoteru lebih bodoh dan penakut dari yang dia kira. Haah... Kalau saja ayahnya bukan polisi, dan kalau saja tubuhnya tidak tinggi, mungkin Kiyoteru tidak akan lolos tes kepolisian.

"Tidak bisa 'kah kau membedakan mana hantu dan mana manusia? Untung saja aku ikut kesini, kalau tidak... Mungkin anak yang tersesat itu akan mati kelaparan didalam hutan."

Komandan Yamazaken segera menghampiri si bocah. Ia mengusap pelan rambut pirang bocah itu agar tidak membuatnya takut.

"Hey, nak. Siapa namamu? Bagaimana bisa ada ditengah hutan sendirian begini?"

Hening. Tak ada tanda-tanda si bocah akan menjawab. Komandan Yamazaken pun mengguncang pelan tubuh ringkih bocah itu. Baru diguncangkan pelan, tubuh si bocah sudah terhuyung lemas--dan akhirnya pingsan.

"Kiyoteru, bopong lalu bawa anak ini ke kantor polisi." Titah komandan.

"Baik, pak."

.

.

.

"Ngh..."

Pelapon ber-cat putih kekuningan itu menjadi pemandangan awal yang dilihat si bocah ketika membuka mata. Ia begitu ketakutan, 'Dimana aku?' dan 'Tempat apa ini?' menjadi pertanyaan awal yang terlintas dalam benaknya. Tidak perlu menerawang isi otaknya, cukup melihat wajah bocah itu saja sudah sangat jelas menujukan jika dia kebingungan.

"Siang, nak. Akhirnya kamu bangun juga." Sapa komandan Yamazaken. Bocah kecil itu tidak menjawab, lidahnya mendadak kelu.

Komandan Yamazaken mengerti, bocah itu masih shock, wajar jika sapaannya tidak dijawab. Seperkian detik setelahnya, pria lima puluh tahun itu mengernyitkan dahi, terheran-heran pada mata beda warna yang dimiliki si bocah.

'Cukup unik. Cacat sejak lahir, kah? Ah, jangan dibahas. Aku tidak ingin anak ini tersinggung.', pikir komandan.

"Apa kau lapar, nak?"

Bocah pirang yang semula berwajah tegang itu mulai relax. Mungkin dia bisa merasakan tidak ada aura jahat dari bapak berbaju polisi yang kumisnya tebal ini. Namun, lagi-lagi bocah itu hanya diam, membuat komandan Yamazaken jadi berpikir jangan-jangan anak didepannya ini bisu(?)

"Ibu muda yang ada dibelakang bapak itu, siapa?" Tanya si bocah. Akhirnya dia bicara--jadi lega.

"Ha? Ibu muda?"

"Iya."

Komandan Yamazaken segera berbalik, melihat siapa yang ada dibelakangnya.

'Loh?! Tidak ada orang...'

___

Detective AkumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang