Selamat membaca...
.
.
.
.
,TIGA TAHUN sudah aku menjalani hari-hariku di sekolah ku Al-Furqon, sekarang aku akan segera naik pangkat menjadi siswi SMA.
Pilihanku untuk melanjutkan pendidikanku jatuh pada pesantren lagi, dan itu menyenangkan. Setidaknya aku akan sedikit terbiasa dengan pelajaran-pelajaran bahasa arab dan kawan-kawannya.
Tapi, sekolahku yang ini cukup jauh dan aku harus tinggal di asrama. Sebenarnya cukup sulit juga untuk membiasakan diri disini, tapi lambat laun aku mulai mengerti bagaimana hidup mandiri tanpa orang tua disisi.
Sudah hampir tiga bulan aku tinggal di asrama, aku juga jarang pulang ke rumah karena butuh ongkos yang lumayan besar untuk pulang.
Aku juga tidak mau merepotkan ayah yang bekerja siang malam untuk membiayai aku dan keluarga ku disana, jadi aku pikir bukan keputusan yang buruk aku tidak pulang ke rumah.
Hal itu membuat aku sangat merindukan libur akhir semester atau libur panjang.
Kalau ingat rumah, entah kenapa hatiku rasanya sedih.
Rasa rindu seakan menjalar ke setiap saraf tubuhku. Aku rindu suara kakak yang suka marah-marah dan suara gemericik minyak panas saat ibuku memasak di dapur. Aku rindu masakan ibu yang sudah lama tak menyentuh lidahku, aku juga rindu suara motor ayah yang kadang-kadang mengantar ku ke sekolah pagi-pagi.
Aku juga rindu pada sekolah lama ku, pada wali kelas ku yang terlihat galak tapi bijaksana, pada guru PKN yang sukanya membuat gelak tawa semua orang pecah, juga pada Bu Rin yang kadang-kadang membuat tegang dengan kuis dadakannya. Juga pada teman-temanku dan sahabatku.
Aku tidak akan pernah melupakannya, kenangan-kenangan indah di masa lalu itu adalah history yang akan ku ceritakan lagi pada mereka saat nanti kita bertemu lagi.
Aku merasa sedih sekali.
"Ras?"
Aku segera mengelap mataku yang berkaca-kaca, lalu menoleh pada Isti yang memanggilku.
"Iya?"
"Kenapa?"
Aku menggelengkan kepalaku pelan sambil tersenyum, Isti pun ikut tersenyum lalu mengajakku untuk segera turun dan berangkat ke sekolah bersama.
Aku adalah gadis pendiam, jadi kadang-kadang aku lebih memilih berangkat sekolah sendiri.
Tapi kalau ada yang mengajak ku, ya, pasti aku akan berangkat bersamanya, dia sudah baik-baik mengajak ku mana mungkin aku abaikan saja, aku rasa itu bukan hal yang baik untuk dilakukan.
Aku melihat Alma dan Irna sedang menunggu di depan asrama, Isti pun memintaku untuk mempercepat langkahku, aku mengangguk.
Setelah aku memakai sepatu, kami segera pergi ke sekolah.
Letak asrama putri itu tidak ada di dalam sekolah, dari asrama aku harus berjalan lagi. Tidak jauh, hanya beberapa langkah saja, paling cuma memakan waktu lima menit, tapi entahlah jika perjalanannya diselingi mengobrol dan bercanda.
"Tugas kemarin, kalian udah?" Tanya Irna membuka pembicaraan.
"Udah donk," sahut Alma tersenyum puas.
"Aku.. satu lagi, masih ada yang bingung-bingung sedikit."
"Yang mana, Isti?"
"Yang itu, yang nilai x nomor 6," jawab Isti.
"Nah, aku juga yang itu rada-rada susah," Irna menanggapi.
"Kalau kamu Ras? Udah belum?"
Aku mengangguk, "udah."
"Semuanya? Kamu bisa bantuin aku gak? Jelasin nomor 5 gimana cara jawabnya."
"Iya bisa, tapi nanti di kelas ya," kataku.
"Ya iyalah, masa disini," ujar Irna.
Kami sampai di depan gerbang sekolah, terlihat lapangan masih kosong, padahal seingatku hari ini aku tidak terlalu pagi datang ke sekolah.
Dulu waktu di Al-Furqon aku suka berangkat pagi-pagi sekali, dan biasanya Anasya yang sampai sebagai orang kedua dikelas.
Tapi lain tempat lain pula kejadiannya, karena ada les subuh dan piket subuh, aku jadi tidak bisa berangkat pagi sekali, belum lagi harus ngantri kalau mau mandi.
Tapi aku senang, aku selalu merasakan sebuah perjuangan di setiap waktu yang ku habiskan disini.
"Ras, kamu mau ikut ke kantin gak?" Alma nampak ditarik-tarik oleh Irna.
"Gak, aku ke kelas aja deh," jawabku jujur.
"Ya udah, kita ke kantin dulu ya, ini Irna mau jajan, maksa lagi!"
"Iih, biarin, ayo cepetan, aku masih laper," rengek Irna membuatku tersenyum, anak itu memang sedikit manja.
"Kalian aja lah, aku mau nemenin Rasti ke kelas, aku takut tergoda," kata Isti menghampiriku.
"Tergoda apa?" Bingung Irna.
"Tergoda jajan, udah ah, yuk Ras," Isti sambil menarik tangan ku untuk mrngikutinya.
Jadilah kami berempat terbagi dua kelompok. Yang satu ke kantin dan satu lagi ke kelas, tapi tidak papa, nanti di kelas kita sama-sama lagi.
"Isti!" Seseorang memanggil Isti, dari suaranya aku bisa tahu siapa orang itu.
Aku menoleh sekilas lalu kembali menunduk saat lelaki tinggi itu menghampiri kami berdua.
"Ini, buat si Atin, titip ya!"
"Oh, iya kak."
Kalau tidak salah senior ku ini namanya Zalfa, kata orang dia itu pemuda yang tampan dan aku percaya karena sekarang aku juga melihatnya.
Di sisinya aku melihat laki-laki yang lain, dia juga seniorku dan seingatku namanya Angga.
Mereka adalah dua kakak kelas yang akan menjadi bagian dari kisah ku ini, kisah yang akan membuatku sadar aku sudah terjebak pada keadaan yang sama namun memilki cerita yang berbeda.
Jadi bagaimana kisahku?
Inilah dia kisahku...
.*.*.*.
.
.
.
.
.
.Terima kasih sudah berkunjung dan menyukai cerita ini.
Jangan lupa vote dan komentarnya ya.
Oh iya, buat yang bersangkutan dengan cerita ini, mohon maaf jika tidak sesuai ekspektasi.
Salam kenal dari gadis pecinta matcha.
Bai..