Episode 2
Selamat membaca...
.
.
.
.
.
MEREKA berdua tersenyum padaku sesaat sebelum berpamitan pergi. Aku merasa malu sendiri, entah kenapa."Eh, ya udah kenapa kita jadi bengong disini, yuk!"
"Iya, ayo!"
Pelajaran pagi ini sangat menguras energi dan emosi kami semua, pasalnya pelajaran matematika yang memusingkan itu membuat kami kena marah.
Meski tidak semuanya kena marah, tetap saja kuping kami rasanya sakit mendengar ujaran-ujaran ustadz yang menyakitkan.
Tapi itu belum tentu buruk, perkataan ustadz ada benarnya, kami mungkin tidak cukup serius dalam memperhatikan guru yang sedang menjelaskan materi di depan kelas, jadi tidak terlalu mengerti saat ustadz memberi tugas, aku juga kadang mudah menyerah saat mengerjakan tugas-tugas yang sulit bahkan pernah benar-benar menyerah.
Kalau saja aku tidak ingat pada ibu dan ayahku yang bersusah payah mencari uang di sebrang sana, pasti aku sudah jadi anak yang masuk daftar hitam.
Tapi Alhamdulillahnya Allah masih peduli padaku dan menyadarkan ku bahwa semua ada hikmahnya.
Apa yang menurut kita buruk belum tentu buruk di mata Allah, apa yang menurut kita baik juga belum tentu baik di mata Allah.
"Aku laper, aku laper!" Ujar Irna berdiri dari bangkunya.
Aku mengangguk, sepertinya angka-angka di whiteboard tadi sudah membuat kami mencerna sarapan kami dengan cepat, dan membuat perut kami berdemo sekarang. Jika tidak segera di atasi bisa-bisa kami terkena maag.
"Yuk ah, seblak Bu Aminah," kata Alma.
"Jangan, bakso Pak Bambang."
"Enggak, cireng Bu Aminah."
"Kalau gitu kalian makan warungnya aja gimana?" Ranti menanggapi obrolan kami.
"Ide bagus, ayo!" Ujar Isti terkekeh kecil.
Aku pun tertawa kecil lalu menggelengkan kepalaku, teman-temanku ini memang ada-ada saja tingkahnya.
"Ya udah, ini mau jadi atau enggak? Atau kita makan bangku aja biar kenyang?" Canda Irna.
"Jangan, kasihan mudir, nanti harus beli yang baru, nanti kita keenakan dapet meja baru," sahutku membuat kami semua tertawa.
Obrolan kami pun berlanjut sampai kami ke kantin, dan dari sana aku sedikit demi sedikit mulai nyaman bersama mereka, lagipula ini sudah hampir tiga bulan kami bersama, kami sudah tahu kebiasaan masing-masing dan keburukan masing-masing juga, meski ya sebenarnya mereka belum menonjolkan sisi mereka yang sebenarnya.
.*.*.*.
Aku duduk bersama Isti, Alma dan juga Irna ditepian lapangan, aku merasa tertarik pada bola voli yang menyendiri di dekat tiang listrik disana, aku jadi ingat saat aku masih di Al-Furqon aku suka main bola voli itu bersama teman-temanku sambil teriak-teriak girang.