06 | Sunset

474 17 1
                                    

"Lo ngirim bekal lagi buat si songong itu?"

Nadilla memandang Caca dengan tatapan tak percaya. Dia mendengus sebal, lalu mendudukkan dirinya di sofa empuk bergambat doraemon di kamarnya Caca. "Lo ngapain sih masih baik aja sama tuh orang?"

Caca hanya diam. Dia tidak ingin beradu mulut sepagi ini dengan sahabatnya itu. "Ca, lo denger gue nggak sih?" Caca membalas dengan anggukan.

"Ca, kemaren lo diapain sama si Sheryl itu?"

Caca mendadak berhenti memasukkan buku-bukunya ke dalam tas berwarna pink miliknya. Dia terdiam sesaat, berpikir darimana Nadilla tau? Bukannya kemarin Nadilla tidak masuk sekolah karena ada urusan keluarga?

"D-darimana... Nadilla—"

"Dari Kak Rian." Potong Nadilla cepat. Dia menatap tajam Caca, sehingga Caca menjadi sedikit takut.

"Nanti biar gue yang ngomong sama Sheryl."

Nadilla memang seperti itu, dia tidak akan memanggil orang yang dia benci ataupun yang sudah mengganggu orang-orang kesayangannya dengan sopan. Bahkan, dia tidak segan-segan untuk memukul orang itu.

"Nggak usah!" Cegah Caca.

"Kenapa sih, Ca? Cewek sinting itu udah nyakitin lo! Dia bahkan ngancem lo, Caca." Nadilla mengguncangkan tubuh sahabatnya.

"C-caca... C-caca nggak mau kalau Nadilla terlibat masalah ini." Caca menunduk.

"Kita sahabatan udah dari lama, Ca. Lo pikir gue bakal diem ketika orang yang gue sayang kehidupannya diganggu?"

Caca tetap menunduk, enggan untuk menjawab pertanyaan Nadilla. Dia menggigit bibir bawahnya, "Maafin Caca." Ucapnya dengan suara bergetar.

Kemudian, Nadilla memeluk Caca untuk menyalurkan rasa ketenangan. "Iya, Ca. Gue tau lo pasti nggak enak cerita sama orang. Apalagi orang terdekat lo, gue paham. Tapi, apa salahnya kalau kita saling membantu kan?"

Caca mengangguk pelan. Dia sungguh merasa bersyukur karena punya sahabat sebaik Nadilla, yang pengertian. Meskipun Nadilla itu sikapnya agak seperti lelaki.

"Ya udah, ayo beresin dulu buku lo. Terus kita berangkat, udah jam setengah enam." Kata Nadilla.

"Iya."

***

"I-ini bekal buat—"

"Nggak."

"Hah?"

"Gue nggak terima. Bawa pulang."

"Tapi, ini Caca ikhlas kok. Nggak ada maksud apa-apa."

"Udahlah, Za. Lo terima aja bekalnya susah amat. Dia juga nggak nyatain perasaan, ngapain lo susah banget sih terima makanannya?" Rama tiba-tiba datang menghampiri Reza yang sedang bermain game di handphone miliknya, dan Caca yang sedang berdiri membawa kotak makan bergambar ikan nemo ditangannya.

"Diam." Sahut Reza.

Rama menghela napas, "Ya udah, sini gue ambil bekalnya. Ntar biar gue yang kasih ke pangeran dingin ini, oke?"

Caca tersenyum, dia menganggukkan kepalanya. "Iya, kak! Makasih, Kak Rama!" Rama mengambil kotak makan dari tangan Caca.

"Kak Reza, nanti bekalnya dimakan ya? Ini mamah yang buat loh, masakan mamah enak banget." Caca tersenyum.

"Pasti dimakan kok nanti, ya kan Za?"

"Hm."

Caca tersenyum tulus, lalu dengan ceria dia kembali ke kelasnya. Rama menatap iba Caca, dia kasihan karena sahabatnya itu selalu bersikap kurang menyenangkan kepada gadis sepolos dan secantik Cantika Lavina.

KUTUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang