Wattpad Original
Ada 5 bab gratis lagi

4. Sosok Berlendir

153K 8K 646
                                    

Setelah para warga pergi, Pak Liem membiarkan anaknya bermain dengan boneka emas tersebut. Anak kecil berumur lima tahun itu tampak sangat senang. Tak hanya mengelus, ia juga menunggangi boneka itu.

Pak Liem dan Bu Fai tercekat ketika putra semata wayangnya mendadak bergelagat aneh. Matanya mendelik, lehernya mengejang, sementara napasnya mulai tersengal.

Bocah itu mengerang seperti macan, menggunakan tangan dan kakinya untuk merangkak seperti hewan. Tatapannya berubah tajam tak seperti biasanya.

"Ada apa dengan anak kita, Koh?" tanya Bu Fai panik.

"Yi Fan, kamu kenapa?" Pak Liem meneguk ludah. Perlahan tangannya menjulur menyentuh bocah bernama Yi Fan itu.

"Aaaargh." Yi Fan tak menyahut. Hanya terdengar suara erangan.

"Yi Fan? Sadar!" kata Pak Liem seraya mengoyak tubuh Yi Fan.

Yi Fan kembali mengerang. Dia mencakar mata Pak Liem hingga membuat Pak Liem tersungkur ke lantai. Pak Liem berteriak kesakitan, matanya berdarah. Entah karena apa, Yi Fan lantas merangkak cepat keluar rumah.

"Kejar dia!" perintah Pak Liem.

Bu Fai mengangguk. Ia berlari mengikuti Yi Fan yang kini sudah melongok melihat ke bawah sumur lalu ia tersenyum tipis diselingi dengan erangan.

"Jangan! Jangan, Yi Fan!" perlahan Bu Fai melangkah untuk menghentikan Yi Fan. "Ayo kembali ke Mama!"

Yi Fan menoleh sebentar lalu tanpa berpikir panjang, dia melompat terjun ke dalam sumur.

"Tidaaaaak!" teriak Bu Fai yang cepat-cepat melongok melihat ke dalam sumur.

"Mama ... Mama ... tolong Yi Fan, Ma." Terlihat tangan Yi Fan mengayuh udara. Beberapa teguk air sudah puas ia minum.

Bu Fai langsung mengulurkan katrol timba. "Yi Fan, cepat raih! Mama akan menarikmu!"

Yi Fan menangkap timba itu. Namun, saat Bu Fai hendak menariknya ke atas, Yi Fan merasakan ada seseorang yang menarik kedua kakinya.

"Mamaaa! Toloooong! Ada yang menarik Yi Fan, Ma!" teriak bocah itu.

"Yi Fan, pegangan yang kuat!"

Yi Fan bergelantung di timba itu. Bu Fai menarik katrol kuat-kuat. Tapi, seseorang di dalam sana terus menarik kaki Yi Fan. Yi Fan melihat ke bawah, melihat sosok berambut panjang, bermulut lebar, dan bermata merah tengah menggelayut di kakinya.

"Aaaaaaargh!" teriak Yi Fan. "Aaaaargh!"

Bu Fai terus menarik katrol itu lagi, dibantu dengan Pak Liem yang baru datang. Mereka tak bisa melihat sosok yang Yi Fan lihat.

Sosok berlendir itu terus bergelayut dari mulai kaki Yi Fan, kini sosok itu sampai ke pinggang Yi Fan, membuat Yi Fan tak henti-hentinya berteriak ketakutan saat lidah sosok itu menjulur-julur lalu menjilat.

"Tarik, Ma! Ayo!" ujar Pak Liem.

Tangan Yi Fan tak mampu bertahan lebih lama lagi bergelantung di tali timba. Pegangannya terlepas. Ia kembali tercebur ke dalam air, membuat Pak Liem dan Bu Fai semakin panik.

Yi Fan mencari pegangan apa pun yang bisa ia pegang. Tangan kecilnya meraih batu sumur dan mengeratkannya di sana. Namun, sosok berbau busuk itu terus menariknya ke dalam air hingga membuat jemari Yi Fan terkelupas karena terlalu kuat mencengkram bebatuan sumur.

"Tidaaaaaak!"

Setidaknya itulah suara terakhir yang Pak Liem dan Bu Fai dengar sebelum Yi Fan menghilang ke dalam air. Hanya menyisakan buih-buih.

"Yi Fan!" teriak Bu Fai.

Pak Liem langsung mencari bantuan warga untuk menolong anaknya. Beberapa warga pun datang membantu Pak Liem memasuki sumur.

Pak Liem tercekat dengan mata mendelik takut. Tepat saat ia berhasil memasuki sumur, ia mendapati putra semata wayangnya keluar dari dalam air dengan muka pucat dan mata mendelik, terapung di atas air sumur.

"Yi Faaaaaaan!" teriak Pak Liem frustrasi.

Kaila hanya berdiri menonton, melihat semua orang tampak berkabung atas kematian Yi Fan. Ternyata dugaan Kaila salah. Ia pikir yang akan mati lebih dulu adalah Pak Liem atau istrinya. Tapi, makhluk astral itu menginginkan Yi Fan.

Kaila melihat kepulan asap hitam itu semakin banyak, mengelilingi Pak Liem dan Bu Fai seperti tali yang siap untuk menjerat leher. Lama-kelamaan tali itu terlihat seperti rambut yang berlendir. Kaila bergidik lantas memalingkan muka karena jijik.

"Yi Fan? Yi Fan? Bangun! Ayo bangun!" Bu Fai menangis histeris. Ia menepuk ringan pipi pucat putranya.

Pak Liem menggeleng tak percaya. Ia dengan berat hati menutup mata anaknya.

"Buang boneka emas itu!" kata Kaila yang berhasil menyita sorot mata semua orang. "Boneka itu adalah boneka kutukan. Cepat buang!"

Para warga yang datang bergidik ngeri. Seperti yang Kaila ucapkan, hal yang buruk akan datang.

"Boneka itu—"

Seorang wanita 35 tahun tiba-tiba datang dan membungkam mulut putrinya. Dia adalah Bu Bita.

"Ayo pulang!" ajak Bu Bita menyeret Kaila menuju gubuk kecil tempat tinggal mereka.

"Bu, bagaimana aku bisa diam saja? Nyawa Pak Liem dan Bu Fai dalam bahaya. Makhluk itu—"

Plaaaaak

Sebuah tamparan rupanya membuat mulut Kaila terdiam dengan tatapan penuh tanya. Napas Bu Bita ngos-ngosan menahan amarah. Meski ia tahu kematian Yi Fan bukanlah salah putrinya, tapi tetap saja ada satu atau dua orang yang akan menganggap Kaila sebagai penyebab kematian itu.

"Berhenti! Berhenti bicara semaumu!" bentak Bu Bita.

"...."

"Hidup kita sudah susah." Air mata Bu Bita mulai mengalir lancang. "Berhenti memberi tahu orang-orang tentang apa yang kamu lihat!"

"Tapi, aku ...."

"Dengar, kalau kamu begini terus, kamu tidak akan mendapatkan teman. Kamu harus berhenti mengatakan hal-hal gaib yang kamu lihat."

"Pak Liem dan Bu Fai dalam bahaya, Bu. Mereka akan mati jika terus menyimpan boneka emas itu," jelas Kaila ngotot.

"Jangan pedulikan orang lain! Pedulikan dirimu saja!"

"Mana bisa begitu?"

"Kalau kamu terus ngotot seperti ini, maka ibu akan meninggalkanmu!" ancam Bu Bita.

"Ibu?"

"Besok Ibu akan pergi ke kota. Jika kamu berjanji tidak akan ikut campur urusan orang, ibu akan membawamu pergi bersama ibu ke kota."

"Ke kota?"

"Kebetulan pamanmu sudah mencarikan ibu pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di sana. Jadi, kalau kamu mau ikut, kamu harus berjanji berhenti ikut campur urusan orang lain. Mengerti?"

Kaila menelan ludah lalu mengangguk enggan. Iamenoleh sebentar. Dari kejauhan ia masih bisa melihat kerumunan warga yangberjubel di pekarangan rumah Pak Liem. Mereka ikut berkabung.

Kutukan TumbalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang