Kaila sebisa mungkin mengabaikan Jean yang belum jera mengajaknya mengobrol, membuat Gea terkikik.
"Kenapa kamu menghindarinya?" tanya Gea. "Apa kamu merasakan sesuatu? Aku lihat ... dia tampan juga. Kenapa kamu tidak tertarik?"
"Eh lo, kok, diam aja, sih? Nggak sopan kali kalau ada orang ngomong nggak disahutin," tegur Jean.
"Oh i ... iya. Maaf," sahut Kaila singkat lalu memalingkan muka.
Tak lama setelah mereka berbincang singkat, Bu Yani dan para siswa kelas A datang kembali ke kelas dan duduk di bangku masing-masing.
"Baik anak-anak. Tugas saya sudah selesai. Setelah ini akan diisi materi persiapan MOS. Sampai jumpa kamis besok," kata Bu Yani lalu keluar kelas, digantikan beberapa senior yang siap mengisi materi hari ini.
Seorang siswi berwajah tegas mulai memberikan arahan tentang barang-barang apa saja yang harus dibawa saat MOS, diantaranya pita hijau yang dikalungkan, papan nama yang terbuat dari kardus, serta rok rumbai-rumbai yang terbuat dari tali rafia. Kaila mencatatnya baik-baik, tak melewatkan satu pun. Dia tak mau dihukum saat Masa Orientasi Siswa nanti.
"Pinjam catatan lo, boleh nggak?" tanya Jean.
"Boleh." Kaila dengan terpaksa memberikan buku catatannya pada Jean.
"Kalau aku terus dekat dengan Jean, aku takut firasat buruk yang aku rasakan akan terjadi. Tapi ..., bagaimana mungkin cowok beraura bagus seperti dia bisa memberiku kesialan?" batin Kaila.
"Nih." Jean mengembalikan catatan Kaila dengan senyum ramah menghiasi wajah tampannya. "Makasih, ya."
"Sama-sama."
***
Hari Masa Orientasi Siswa pun datang. Kaila sudah bersiap dengan segala atribut yang diminta panita. Berbeda dengan Sella yang terlihat santai, menyuruh Mbak Mirna memasukkan atributnya di dalam mobil tanpa mengeceknya apakah sudah lengkap atau belum.
"Hati-hati, ya, Sayang," kata Nyonya Ratna saat Sella memasuki mobil diantar sopir.
Kaila berangkat dengan sepeda ontelnya. Jarak rumah Nyonya Ratna dengan SMA 5 Pelita terpaut dua kilometer. Kaila tak bisa ikut menumpang di mobil karena Sella tak mau berada dalam satu mobil dengan anak pembantu dengan dalih tak mau reputasinya hancur.
Kaila menghela napas lega saat sampai di tempat parkir. Ia menyeka keringatnya yang bercucuran setelah mengayuh sepeda cukup jauh. Langkahnya terhenti saat Sella menghampirinya.
"Mana pita hijau lo?" tanya Sella ketus.
Mata Sella mulai menyisir. Ia langsung merebut pita hijau yang dipegang Kaila lantas memakainya sebagai kalung. Tanpa atribut lengkap, ia tidak bisa masuk ke aula. Itulah sebabnya Sella menunggu kedatangan Kaila di dekat tempat parkir.
"Eh kalau kamu make pita aku, terus aku pakek apa?" tanya Kaila.
"Mikir!" bentak Sella lalu beranjak pergi menuju aula.
Kaila tertegun dengan hati miris. Dia tak bisa protes atau bahkan sekedar mengeluh pada seseorang. Dia hanyalah anak seorang pembantu. Sedangkan Sella adalah anak majikan. Mau tidak mau, dia harus mengalah.
"Eh kenapa nggak masuk?" tanya seseorang dari belakang.
Kaila menoleh dengan mata sedikit melebar melihat Jean. "Atributku nggak lengkap. Aku takut dihukum."
Jean terkekeh. "Takut dihukum?"
"Kok, ketawa, sih?"
"Emangnya apa yang kurang?"
"Pita hijau."
"Oooh kalau cuma pita hijau, sih, gue punya banyak." Jean membuka tas ranselnya lalu mengeluarkan satu rol pita hijau. Dia juga mengeluarkan gunting, menarik pita kira-kira setengah meter, lalu mengguntingnya.
"Terima kasih."
"Sama-sama." Jean tersenyum ramah, memasukkan kembali satu rol pita hijau dan gunting ke dalam tas ranselnya. "Yuk masuk!"
"Jean baik sekali. Sekarang aku paham kenapa auranya berbeda dengan kebanyakan orang. Tak hanya tampan dan baik, dia juga ramah dan lemah lembut. Apa ... apa aku terlalu berburuk sangka sama dia? Firasatku pasti tidak benar," pikir salah satu hati Kaila.
"Tapi ... firasatku biasanya benar. Aku merasakan firasat buruk jika aku akrab dengan Jean. Suatu kesialan cepat atau lambat akan datang padaku," kata sisi hati Kaila yang lainnya.
Jean berbalik saat menyadari Kaila tak berjalan di belakangnya. Lagi, ia memasang senyum ramah.
"Eh, kok, malah bengong, sih? Ayo cepetan! Bukannya dihukum karena kurang atribut, entar lo malah dihukum karena telat loh," tegur Jean.
"I ... iya." Kaila mempercepat langkah kakinya, berjalan beriringan dengan Jean.
"Tuhan, apa tidak apa-apa jika aku berjalan beriringan dengan seseorang dengan aura hebat seperti dia?" Kaila bertanya-tanya, "Tapi ... kenapa aku mempunyai firasat buruk? Apa tidak apa-apa jika aku mengabaikan firasatku?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Tumbal
HorrorKaila hanya menginginkan ketenangan di sekolah barunya, terlepas dari takdirnya yang dapat melihat makhluk tak kasat. Namun, bagaimanapun Kaila berusaha mengabaikannya, Jean-sang cowok hits sekolah-dan nyawa-nyawa yang terancam lainnya membuat Kaila...
Wattpad Original
Ini bab cerita gratis terakhir