Wattpad Original
Ada 8 bab gratis lagi

1. Kematian

413K 14.9K 3.5K
                                    

"Nduk, jika Pak Sugeng atau istrinya kasih kamu uang, jangan diterima. Kalaupun mereka memaksa, terima saja uang itu lalu masukkan kotak amal masjid."

Setidaknya itulah sepenggal nasehat dari Bu Bita pada putri bungsunya, Kaila. Nasehat itu acap kali ia ucapkan saat Kaila hendak keluar rumah. Wanita paruh baya itu sering kali merasa waswas dengan tetangganya yang bernama Sugeng, pedagang kaya raya yang konon katanya memiliki pesugihan kandang bejat.

"Kai," panggil Bu Bita.

Gadis kecil bernama Kaila itu menoleh sebelum keluar pintu. "Hm?"

"Ingat apa kata ibu. Jangan terima uang dari siapa pun, terutama dari Pak Sugeng dan istrinya."

Kaila mengangguk lalu pergi begitu saja bersama Zara, salah seorang temannya. Langkah kaki kecil mereka beriringan, menyusuri jalan setapak menuju gubuk kecil di dekat sawah.

"Eh kita mau main ke mana, nih?" tanya Kaila.

"Kita main ke rumahku aja, yuk!" ajak Zara seraya meraih tangan Kaila lantas menggandengnya erat.

Saat mereka sampai, keduanya tercekat di dekat pintu dengan mata membelalak. Sekujur tubuh Kaila mendadak kaku, tangan dan kakinya bergetar hebat, seluruh bulu kuduknya berdiri saat melihat Tita, kakak Zara menggeliat di atas lantai dengan mata melotot.

"Sugeng ... Sugeng ... kembalikan aku ke rumah Sugeng," suara Tita terdengar serak dan berat. Di sela-sela kalimatnya, terdengar juga rintihan kesakitan. "Pulangkan aku!"

"Nak, sadar, Nak! Kamu kenapa?" tanya Pak Suratno panik. Ia memeluk erat-erat putrinya.

"Sugeng ... Sugeng ... pulangkan aku ke rumah Sugeng! Aaaaarrrrrgggh!" Tita berteriak. Ia menjambak sendiri rambutnya, keranjingan seolah ada makhluk astral yang telah merasuki tubuhnya.

"Tita, Nak, sadar, Nak." Pak Suratno mengoyak-ngoyak tubuh Tita yang masih menggeliat. Gadis berumur 12 tahun itu mulai mencakar-cakar.

"Aaaaaaarrrrgghh!" Tita tak berhenti berteriak. Ia kemudian memegangi perutnya sendiri lalu memukulinya.

Mata Kaila semakin melebar, melihat perut Tita yang semakin lama semakin membuncit yang entah oleh sebab apa. Situasi terasa semakin genting saat Tita memuntahkan darah, membuat baju putih berenda yang ia kenakan menjadi berwarna merah.

"Pulangkan aku! Pulangkan aku!" teriak Tita.

Tak lama berselang, Bu Yani datang bersama Pak Ustaz. Apa yang Kaila lihat saat itu terekam jelas. Terlebih saat Pak Ustaz mengumandangkan doa. Tita tampak semakin meronta, mencabik pakaiannya, lantas membenturkan kepalanya sendiri ke tembok. Entah kekuatan dari mana, tenaga anak kecil itu menjadi luar biasa.

"Tak ada pilihan lain, Buk. Kita harus membawa Tita ke rumah Pak Sugeng," saran Pak Ustaz yang disahuti anggukan oleh Bu Yani dan Pak Suratno.

Mereka berdua memeluk Tita, mengunci pergerakan tangan Tita, lalu membopong Tita menuju rumah Pak Sugeng yang kebetulan terletak tak jauh dari rumah mereka.

Dengan langkah kaki goyah, Kaila mengikuti mereka. Rasa penasaran gadis kecil itu terlampau kuat hingga membuatnya begitu berani. Dari kejauhan, Kaila kembali merekam apa yang terjadi di dalam memorinya.

Pak Suratno mengetok pintu keras-keras. "Sugeng, keluar kau! Cabut pesugihanmu!" pintanya.

Tak lama, pintu rumah Pak Sugeng terbuka. "Ada apa ini teriak-teriak?"

"Lihat! Lihat anakku!"

Pak Sugeng menelan ludah. "Kenapa memangnya."

Tita semakin meronta. Ia terjatuh ke atas lantai. Seolah tak memiliki rasa sakit, dia merangkak perlahan, tangannya meraih kaki Pak Sugeng, lalu mengoyaknya.

"Pulangkan anakmu! Pulangkan! Aaaaarrrgh," jerit Tita.

"Pak Sugeng, saya mohon, Pak. Jangan lakukan ini pada anak saya. Tolong sudahi semua ini," pinta Bu Yani mengiba. "Hentikan pesugihan Bapak."

"Buk, jangan asal tuduh, ya! Pesugihan? Apa maksud Anda? Saya tidak punya pesugihan!" bentak Pak Sugeng tak terima.

"Pak, saya mohon, Pak. Kasihanilah anak saya."

"Jangan asal bicara!"

Tita masih mengais-ngais kaki Pak Sugeng. Ia mendongak dengan melotot, jari telunjuknya mengarah tepat menuju muka Pak Sugeng.

"Kutukan ... kutukan akan menghampirimu! Tunggu saja! Tunggu saja!"

Tita kembali menjerit, menggeliat kesakitan di atas lantai, lalu kembali memuntahkan darah. Perutnya pun semakin membuncit.

"Pak saya mohon, Pak. Tolong anak saya," pinta Bu Yani.

"Iya, Pak. Tolong, Pak," imbuh Pak Suratno.

"Apa yang kalian bicarakan?"

"Pak, tolong jangan lakukan itu. Kasihan anak ini," kata Pak Ustaz.

"Apa-apaan kalian! Sekali lagi saya tekankan, saya tidak punya pesugihan. Jangan suka fitnah!" bentak Pak Sugeng seraya membanting pintu lantas menguncinya rapat-rapat.

Jeritan Tita mendadak pelan. Ia kejang-kejang dipelukan Bu Yani yang sedari tadi tak henti menangisinya. Gadis bertubuh mungil itu akhirnya berhenti saat ia mengembuskan napas terakhirnya.

Kutukan TumbalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang