Kaila menghela napas jengah saat Gea mulai mengusiknya. Hantu berkulit pucat itu menghalang-halangi Bu Yani yang tengah memberikan arahan. Meski teman-temannya yang lain tak merasa terganggu atas keberadaan Gea, tapi Kaila benar-benar terganggu karena hanya dia yang bisa melihat Gea.
"Baik anak-anak. Mari ikuti saya. Saya akan memperlihatkan ruangan-ruangan di sekolah ini," kata Bu Yani.
"Ruangan-ruangan di sekolah ini? Heeeem pasti salah satu ruangan di sekolah ini adalah ruangan bekas kamar mayat." Kaila meneguk ludah. Dia dan semua teman sekelasnya mulai berjalan mengikuti Bu Yani dari belakang.
"Ini adalah lab IPA. Jika kalian kelas sebelas memilih jurusan IPA, kalian akan sering masuk ke sini," jelas Bu Yani.
"Lab IPA bukan bekas kamar mayat. Syukurlah kalau begitu. Tahun depan aku berencana memilih jurusan IPA," batin Kaila.
Bu Yani menjelaskan sekilas tentang barang-barang yang ada di lab IPA. Ada lemari tempat penyimpanan tabung reaksi, alat destilasi, dan puluhan botol berisi senyawa kimia. Kemudian Bu Yani mengarahkan para siswa ke lab Bahasa lalu beranjak menuju lab komputer, kantor TU, lalu musala.
"Kalau benar sekolah ini bekas rumah sakit, seharusnya ada satu ruangan bekas kamar mayat."
"Baiklah. Selanjutnya kita akan ke perpustakaan," kata Bu Yani.
"Iya. Benar! Setelah berkeliling sekolah, aku belum melihat perpustakaan. Apa jangan-jangan ...."
Bu Yani berjalan melewati lorong yang ada di sebelah musholla. Suasana berubah mencekam bagi Kaila. Bulu kuduknya berdiri lantas ia menelan ludah saat ia berjalan berbelok menuju sebuah ruangan yang berada tepat di belakang musholla.
"Ya Tuhan! Benar dugaanku! Perpustakaan adalah bekas kamar mayat!" mata Kaila melebar, menjumpai puluhan makhluk astral yang keluar masuk pintu ruangan itu.
"Nah. Ruangan ini adalah perpustakaan sekolah kita." Bu Yani dengan senyum sumringah membuka pintu ruangan dan mempersilahkan seluruh siswa untuk masuk.
Kepala Kaila mendadak pusing, napasnya tersengal saat ia berdiri di ambang pintu. Dia melihat sekelebat tayangan di masa lalu, mendapati sejumlah orang berseragam prajurit terkapar penuh darah di atas ranjang. Sekarang Kaila bisa menyimpulkan bahwa sekolahnya adalah bekas rumah sakit jaman kemerdekaan.
"Lo sakit?" tanya Jean.
Kaila terkesiap. "Hm? E ... enggak," jawabnya bohong.
Kaila menggeleng, menampik kenyataan bahwa dirinya takut memasuki perpustakaan sekolahnya. Tapi, mau tidak mau, dia harus masuk agar tidak ada orang yang curiga bahwa dirinya bisa melihat makhluk astral.
Dahi Kaila mulai berkeringat. Ia melihat-lihat ke sekeliling. Yang ia jumpai hanya makhluk-makhluk astral yang begitu banyak, nyaris tak terhitung jumlahnya.
"Kamu bisa melihat mereka juga, kan?" tanya Gea yang berhasil membuat Kaila terlonjak. "Ayahku bilang, sekolah ini adalah bekas rumah sakit. Tidak heran jika masing-masing ruangan di sekolah ini memiliki pintu dua kali lebih lebar untuk memudahkan ranjang pasien masuk."
Kaila berjalan dengan mata waspada, sesekali bergidik takut melihat wajah arwah-arwah pasien yang hancur. Mungkin karena kecelakaan.
Hidung Kaila mulai berkedut saat mencium bau darah, nanah, dan bangkai mayat. Beberapa hantu bisa mengeluarkan bebauan menyengat seperti itu untuk menunjukkan keberadaan mereka. Rasanya Kaila mau muntah. Tapi, dia tidak bisa keluar dari perpustakaan karena takut jika orang lain curiga dengan gelagatnya. Bagaimanapun juga, tidak ada orang yang boleh tahu tentang kemampuannya.
"Hai!" Jean memegang pundak Kaila.
Kaila menoleh kaget dengan napas ngos-ngosan.
"Lo, kok, kaget gitu, sih?" tanya Jean heran.
"E ... enggak. Nggak apa-apa," kilah Kaila kembali bohong. Ia memalingkan muka saat melihat sesosok arwah dengan kepala yang setengahnya hilang, menyisakan satu mata, separuh mulut dan hidung. Mengerikan!
Jean menyipit curiga. Ia merasa ada sesuatu yang Kaila sembunyikan. "Tingkah cewek satu ini kelihatan aneh. Dia seperti ketakutan."
Kaila sudah tidak tahan dengan bau busuk yang ia cium. Ia berlari keluar perpustakaan untuk menghirup udara segar. Akhirnya ia bisa bernapas seperti biasa.
Tadinya Jean mau mengikuti Kaila keluar. Tapi, dua siswi menghadangnya hanya untuk meminta berkenalan. Jean tersenyum ramah dan mengenalkan diri pada dua siswi tersebut.
"Hantu yang berkepala setengah itu adalah korban longsor saat jaman presiden pertama. Kepalanya tertimpa batu dan pecah," jelas Gea yang masih belum jera mengikuti Kaila.
Kaila bergidik. Ia memutuskan kembali ke kelasnya saja meskipun teman-temannya yang lain masih asyik melihat-lihat buku di perpustakaan. Ia sudah memikirkan alasan jika nanti ada orang yang bertanya.
"Aku tahu kamu berpura-pura tidak bisa melihatku. Iya, kan?" tanya Gea yang duduk di atas meja Kaila.
"Baru hari pertama bersekolah, kenapa ada hantu yang menyebalkan seperti dia?" batin Kaila jengkel.
"Tiga tahun lalu, ada seorang siswi indigo yang bersekolah di sini. Tapi, baru tiga bulan bersekolah, dia memutuskan pindah. Mungkin karena jumlah hantu mengerikan di sekolah ini jauh lebih banyak daripada sekolah biasa," imbuh Gea.
"Hai! Elo di sini rupanya," kata Jean yang berdiri di ambang pintu. Ia lantas berjalan kemudian duduk di bangkunya.
Lagi, Kaila terperangah. Aura Jean sangat menyilaukan walau terlihat indah. Mungkin karena itu Jean selalu menjadi pusat perhatian. Dan entah mengapa Kaila tiba-tiba merasakan firasat buruk jika ia terus akrab dengan cowok itu.
"Firasat ini ...." Kaila tercekat. Mulai sekarang, ia tahu hal apa yang harus ia lakukan, yaitu menjauhi Jean sebisa mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Tumbal
TerrorKaila hanya menginginkan ketenangan di sekolah barunya, terlepas dari takdirnya yang dapat melihat makhluk tak kasat. Namun, bagaimanapun Kaila berusaha mengabaikannya, Jean-sang cowok hits sekolah-dan nyawa-nyawa yang terancam lainnya membuat Kaila...
Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi