6 : [ Bunuh diri? ]

210 4 0
                                    

   Inikah takdir hidupku ? Mengapa aku harus hidup, mengapa aku harus ada di dunia ini jika hidupku hanya berisi penderitaan? Tidak adakah satu titik kebahagiaan untukku?

Tak terasa satu demi satu tetes air mataku jatuh, membasahi wajahku, aku sudah tidak sanggup menahan kesedihanku, aku ingin ada orang yang peduli denganku, yang mau menemaniku menjemput kebahagiaan.

Tiba-tiba ada sebuah rasa dalam diriku, terlintas di pikiranku bahwa aku harus memilih mengakhiri hidup ini, karena percuma saja aku hidup, tidak ada yang menganggapku ada, tidak ada yang peduli denganku, mungkin lebih baik aku tidak ada di dunia ini.

   Aku segera pergi menuju jalan raya yang ramai akan kendaraan yang berlalu lalang.
Aku menunggu saat yang tepat. Saat ada kendaraan yang melaju dengan cepat aku segera berlari ke tengah jalan itu, aku berharap agar mobil itu menabrakku, tetapi nyaris saja aku hampir tertabrak, ada seorang perempuan cantik yang menolongku, ia segera menarikku ke tepi jalan raya.

Akhirnya rencanaku untuk pergi dari dunia ini, ya bisa disebut usah bunuh diri mungkin, menjadi gagal. Harapanku sudah hilang.

"Apa yang terjadi denganmu?" tanya wanita itu.

   Aku lalu menatap wajahnya, aku mengenalnya, wanita itu adalah tetanggaku yang biasa aku panggil tante Carla.

Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala, karena aku tidak bisa menjawab pertanyaannya.

Setelah itu tante Carla mengantarku pulang ke rumahku.

Saat kami sudah sampai di rumah, aku tidak berani berkata apa-apa, akhirnya tante Carla yang mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

Tak lama kemudian, mama datang dan menghampiri kami, lalu tante Carla segera menceritakan kejadian yang baru saja kualami.

Aku hanya diam menunggu pembicaraan mama dan tante Carla selesai. Beberapa menit kemudian tante Carla kembali pulang ke rumahnya.

Setelah tante Carla pulang,
" Rania, perbuatanmu sudah keterlaluan, berani beraninya kau mempermalukan mama, kau tahu itu bukan perbuatan yang baik, tidak seharusnya kau melakukan itu!"

" Aku tahu aku salah Ma. Tapi seharusnya biarkan saja, mama juga tidak pernah memperhatikanku, mama selalu sibuk dengan kak Risa dan kak Cherry, jika aku pergi juga pasti tidak akan peduli, aku tahu Mama pasti lebih senang jika aku tidak ada, aku hanya anak yang bisa mempermalukan Mama, Mama pasti malu mempunyai anak sepertiku. " Dengan jujur aku menjelaskan perasaanku pada mama, berharap mama mengerti.

Karena keributan perdebatanku dengan mama, para rekan kerja papaku yang sedang berkumpul di ruang tamu segera menghampiriku, mereka semua menatapku sambil terdiam menyaksikan perdebatan di antara aku dan mama.

" Sekarang lihat, banyak yang memperhatikanmu? Inikah tujuanmu untuk mempermalukan mama dan ayah di depan banyak orang. " Emosi mama mulai memuncak

" Rania lebih baik sekarang kamu masuk ke kamar daripada mengganggu Papa dan yang lainnya, cepat masuk! " perintah Papa.

    Dengan langkah berat, aku terpaksa masuk ke kamarku. Aku memutuskan untuk berdiam di kamar sampai esok pagi. Karena aku sadar, kehadiranku hanya menjadi pengganggu bagi mereka, mereka semua malu dengan hadirnya diriku di dalam keluarga ini, aku hanya sebagai beban, pengacau dan pembuat ulah bagi mereka, jika tanpa diriku mereka menjadi lebih baik, aku akan menjauh dari mereka , demi kebahagiaan mereka.

   Saat waktu makan malam tiba, terdengar suara mama memanggil namaku dari luar kamar sambil mengetuk pintu, namun panggilan itu tidak aku hiraukan, aku tetap terdiam di atas tempat tidur sambil menutup kedua telingaku dengan bantal.

Lalu terdengar suara papa berkata,  "Sudahlah , biarkan saja dia kelaparan, salahnya sendiri tidak mau keluar kamar.”

Setelah itu sudah tidak terdengar lagi suara-suara mereka, sepertinya mereka sudah pergi.

Andai saja mereka tahu perasaanku saat ini, andai mereka mengerti kesedihan yang aku rasakan.
Kehadiranku di rumah ini seperti tidak diinginkan oleh keluargaku. Setiap hari aku harus meneteskan air mata, entah itu air mata kesedihan atau kesakitan.

Kadang aku iri dengan anak-anak lainnya. Yang sampai saat ini masih  bisa merasakan kasih sayang  dari orang tuanya, merasakan pelukan hangat dari keluarga. Sedangkan aku, kapan aku bisa merasakan hal yang seperti mereka dipeluk dan diusap  air matanya saatku menangis.

Masalah kecil dibesarkan, selalu aku yang di salahkan. Begitulah kehidupanku. Beginikah cara mereka menunjukkan kasih sayangnya yang penuh dengan kesakitan ini?   Di rumah selalu saja kena marah, biarpun itu cuma hal sepele saja.  Mengapa harus aku yang merasakannya?

Mengapa kakakku selalu bahagia sedangkan aku tidak.
Ini semua tidak adil.

Aku terus merenung sampai kantukku datang , akhirnya aku terlelap dalam tidurku.

Pergi Bersama Angin [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang