9 : [ Tanpa mereka ]

185 4 0
                                    

Langkahku terhenti, panas terik di tanah gersang. Sandal usang tetap di pertahankan, pelindung telapak kaki yang terluka.

Aku ingin menyerah.

Aku ingin mundur.

Aku telah lelah.

Aku telah rapuh.

Apa aku bisa berhenti? Berputar arah untuk kembali. Kembali dimana seharusnya aku berada.

Tapi tak tahu, harus pulang kemana.
Aku terus berjalan, hingga hari mulai malam. Warna merah di langit senja perlahan  mulai menghilang, peran sang surya kini berganti dengan sang purnama, langit berubah menjadi gelap dihiasi cahaya bulan dan bintang-bintang yang berkelip menerangi angkasa.

Malam kembali datang, sudah dua malam aku pergi dari rumah, mencari kebebasan, tanpa keluargaku. Aku terus melangkah, udara dingin menembus bajuku yang tipis, terasa menusuk-nusuk kulitnya. Seberapa jauh aku melangkah? Sudah pukul berapa sekarang? Aku tidak pernah menghitungnya.
Aku tidak peduli lagi pada waktu. Aku hanya merasakan kakiku yang kini mulai terasa berat dan pegal-pegal, sementara perutku kian lapar.

Banyak orang yang berpapasan denganku, tetapi mereka acuh tak acuh. Bahkan ada yang melangkah terburu-buru, seolah dikejar sesuatu. Jangankan menyapaku, memperhatikan pun tidak, mereka hanya membuang muka, seakan-akan aku sesuatu yang menjijikkan. Mengapa mereka tak ada yang peduli padaku? Mungkin memang takdirku selalu diabaikan.

Aku tahu, aku hanya seorang gelandangan berpakaian rombengan, dengan wajah yang jelek dan aroma badan yang tidak sedap. Andai saja ada yang mau berteman denganku, menunjukkan rasa sayangnya padaku.

     Aku mengobrak-abrik isi tempat sampah. Berharap menemukan benda yang berharga atau menemukan makanan. Aku iba pada diriku sendiri, melihat kondisi tubuhku saat ini. Aku seperti hewan yang kelaparan dan mencari makan di tempat sampah. Bahkan aku lebih buruk dari pengemis yang biasa di pinggir jalan raya. Haruskah aku mengemis seperti mereka? Tetapi aku terlalu enggan untuk meminta kepada orang lain. Meminta bantuan saja sulit, apalagi harus meminta uang. Aku sadar, sebaiknya sekarang aku harus mencari pekerjaan. Orang-orang bisa bertahan hidup karena mereka mencari nafkah.
Artinya aku juga harus bekerja untuk diriku sendiri. Apa yang harus kukerjakan? Adakah orang yang mau menerima anak sepertiku untuk bekerja?.

Aku berpikir-pikir mengingat sesuatu yang sering kulihat pada adegan film atau sinetron. Biasanya para gelandangan bekerja sebagai pengemis, pemulung atau pengamen. Aku tahu sekarang, sepertinya aku bisa menjadi pengamen. Kebetulan di tempat sampah ini aku menemukan sebuah alat musik rebana. Aku mengambilnya, walaupun rebana itu sudah tidak bagus lagi, tapi masih bisa dipakai. Aku mengingat-ingat lagu yang pernah kudengar dan kupelajari. Tidak banyak, mungkin aku hanya hafal beberapa lagu, itu pun lagu anak-anak yang sudah ketinggalan zaman.

Bintang kecil, di langit yang biru

Amat banyak, menghias angkasa

Aku ingin, terbang dan menari

Jauh tinggi ke tempat kau berada

Di depan sebuah warung kopi, aku menyanyikan lagu anak yang berjudul bintang kecil diiringi suara rebana yang tidak sinkron.

Memang tidak cocok, suaraku tidak seperti suara Kak Risa. Tapi kali ini aku memaksakan diriku untuk bernyanyi. Tiga orang lelaki memberikan beberapa pecahan uang logam padaku.
Tak lupa aku mengucapkan terima kasih. Kemudian aku melanjutkan mengamen ke tempat lain. Kebetulan malam belum terlalu larut, masih terlihat dua sampai tiga kendaraan yang melintas di sekitarku.

Kemudian sebuah mobil busway melintas, aku segera masuk ke dalamnya. Bernyanyi diiringi pukulan rebana. Saat selesai bernyanyi, aku mengulurkan kantong plastik hitam.
Berharap mereka memberikan uang, berapa pun  jumlahnya tidak masalah, yang penting mereka memberinya dengan ikhlas. Setelah menerima uang dan mengucapkan terima kasih, aku hendak turun dari mobil bus ini yang kebetulan cukup tinggi.

Pergi Bersama Angin [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang