Prolog

649 50 70
                                    

Selamat membaca ^^

*****

Mantan ada untuk pernah mengisi kehidupan atau menjadi bagian masa depan.

Bola mata pembuat kata-kata itu bergerak meneliti sebaris kalimat yang dituliskannya, akan dijadikan snap WA. Beberapa detik kemudian, tangannya memencet ikon bergambar pesawat kertas untuk mengirim.

Ini sudah status kesekian yang diunggahnya. Beranda chat-nya saja sudah penuh dengan omelan, makian, umpatan, serta pesan-pesan sejenisnya yang berasal dari teman-teman, menanggapi semua postingannya.

Udah dikasih tau mau spam, salah siapa nggak dibisuin aja. Gadis yang mengenakan kaus berwarna putih dengan tulisan "I Love Bali" di bagian tengahnya, dipadankan dengan celana jeans selutus itu mulai memosisikan duduknya di atas sofa agar lebih nyaman. Tangan kirinya sibuk membalasi berondongan pesan dari teman-temannya, sedangkan tangan kanannya sibuk memegang sebuah jambu biji yang ia jadikan teman santai.

"Heh Kebo Bucin! Ngapain lo di sini?"

Acara santainya rusak begitu seorang cowok membuka pintu rumah dan menatap tajam ke arahnya. "Enak aja! Sekata-kata ya, kalo ngomong! Nggak sopan banget lagi. Masuk rumah orang tuh, salam, bukan bentak-bentak begitu," omelnya.

"Ini rumah gue, Bahlul!"

"Nama gue Lula! Terus kenapa kalo ini rumah lo? Emangnya gue salah? Kan, lo juga orang, berarti bener rumah orang!" Lula melemparkan kulit jambu biji yang habis ia makan dagingnya pada cowok berbaju hitam polos di hadapannya.

"Ck, jorok banget sih, lo." Arga langsung menarik rambut Lula yang diikat berbentuk kuncir kuda dan mengacak poni gadis itu, gregetan tingkat kecamatan dengan kelakuan gadis yang menjabat sebagai sahabatnya dari orok ini.

"Iih, Arga ... sakiiit!" omel Lula, "kalo rambut gue rontok terus pacar gue minta putus, ini salah lo!"

"Jangan halu, Bahlul! Lo jomlo berkepanjangan, paling mentok juga dideketin nggak dikasih kepastian," ledek Arga. Dirinya ingat betul kala beberapa bulan lalu Lula merengek-rengek padanya karena sakit hati, gebetannya jalan dengan cewek lain. Salah sendiri mau aja di-HTS-in, kan nggak bisa ngapa-ngapain. Mau protes, bukan pacarnya. Nggak protes juga sakitnya kerasa. Begitu kata Arga pada cewek yang tengah merapikan kunciran dan poninya itu.

"Lul ... makan dulu sini!"

Seruan perempuan dari arah dapur itu membuat Lula tak jadi melancarkan aksi mendebat Arga. Ia hanya menatap sinis cowok itu, lantas membalas seruan tadi, "Iya, Bun. Lula ke situ."

Sementara Arga yang sudah tidak keheranan dengan pemandangan seperti ini --Lula seenaknya sendiri di rumahnya-- hanya mencibir kelakuan sahabatnya yang makin hari semakin kurang waras.

"Bun, yang dipanggil, kok, cuma Lula?" protesnya pada sang Bunda. Terkadang ia bingung, yang jadi anak itu dirinya atau si Lula? Lula itu rumahnya di sebelah, tapi kalau pagi sudah ke sini, pulangnya bisa sore atau bahkan malam nanti.

"Lho, kamu udah pulang? Bunda kira masih latihan nge-band. Soalnya dari pagi yang di sini kan, Lula," timpal Mirna, bunda Arga, sembari menyiapkan piring untuk makan siang kali ini.

"Lagian lebay banget sih, lo, Ga. Makan tinggal ke sini aja pake minta dipanggil," cibir Lula. Gadis itu membantu Bunda mengelapi piring sebelum ditata di atas meja makan.

"Dirinya sendiri aja juga lebay, pake ngatain orang lain," gumam Arga tak habis pikir.

"Gue denger ya, Ga!" Telinga Lula masih berfungsi dengan sangat baik sehingga gumaman Arga tetap terdengar.

Nona Asmara [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang