Selamat membaca ^^
*****
Pukul tujuh pagi Lula tergesa-gesa menuruni tangga rumah untuk segera berangkat sekolah. Semalam ia terlalu banyak berpikir, baru bisa lelap pukul tiga dini hari lalu berakibat bangun kesiangan seperti ini.
"Lula, ayo sarapan bareng!" teriak Berta saat mengetahui anaknya tengah mencari sepatu di rak dekat televisi. Hari ini ia berencana menghabiskan waktu di rumah, mengosongkan jadwal kerjanya. Ketika mendengar tentang surat misterius yang diterima putrinya, Berta sadar bahwa dirinya harus mulai memperhatikan gadis yang kini telah menginjak usia remaja itu.
Lula tak menggubris panggilan maminya. Pikirnya pasti mami hanya menyiapkan sarapan kemudian berangkat kerja, lagipula Lula harus segera berangkat jika tak ingin telat. Karena tak ingin membuat maminya sedih, Lula pilih menyahuti ajakan sembari menyisir rambut, "Lula udah mau telat, Mi. Nanti sarapan di sekolah aja."
Sepasang sepatu berada di tangan kiri Lula sementara tangan kanannya sibuk merapikan surai hitam. Ia menurunkan sepatunya sejenak dan menjepit sisir dengan bibir kemudian mengikat rambut. Setelahnya, Lula memasang sepatunya satu per satu lantas berlari ke rumah Arga. Hatinya terus berharap cowok itu juga belum berangkat sebab sampai pukul dua pagi tadi, Arga masih menemani Lula bertukar pesan.
"Arga! Arga!" teriak Lula setelah mengalihkan sisir ke tangannya. Tangannya aktif menggedor pintu bercat putih di depannya.
Mirna membuka pintu dan cukup terkejut dengan kehadiran Lula. Pasalnya gadis itu masih tampak baru bangun tidur, napasnya juga mirip atlet selepas lari marathon. "Lula, kamu kenapa?"
"Bun, Arga belum berangkat, kan? Ini udah siang, Lula lagi nggak mau telat," timpal Lula meski napasnya ngos-ngosan.
Kening Mirna berlipat menunjukkan kebingungan. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Ada apa, sih, Bun, ribut pagi-pagi?" Suara khas orang baru bangun tidur itu berasal dari arah belakang Mirna, mengalihkan fokus kedua perempuan yang berdiri di depan pintu.
"Astaga Arga, kok lo baru bangun? Kita telat ini. Buruan mandi!" omel Lula.
Arga mengernyit. "Telat ke mana?"
"Sekolahlah! Buruan!"
Hening sejenak lalu tawa Arga meledak. Matanya yang tadi malas terbuka, kini mendapat energi untuk terbuka sempurna. "Astaga Lula, kalo mau pinter nggak usah sebegininya," ejeknya.
"Maksudnya?"
Arga menggeleng tak percaya bila Lula selemot ini. Mirna yang melihat itu pun tak urung ikut terkekeh.
"Ini, kan, tanggal merah, Sayang. Pasti libur," jawab Mirna yang seketika membuat sahabat putranya melongo.
Lula bergerak cepat mengambil ponselnya di saku. Benar saja, ini hari libur nasional. Efek semalam terlalu memikirkan pengirim aurat misterius, Lula jadi tidak ingat tanggal.
Baru saja ia akan memasukkan benda pipih itu ke sakunya dan mengikuti ajakan Bunda untuk sarapan bersama, sebuah pesan masuk mengehentikannya.
Mami
Sayang, ini libur, kamu ngapain sekolah? Sini sarapan di rumah. Mami hari ini libur kerja.
Lula menatap tak percaya. Jadi maminya tadi benar-benar ingin sarapan bareng, bukan sekadar menyiapkan sarapan untuknya?
"Bun, Ga, Lula sarapan di rumah aja. Mami udah nunggu!" serunya kemudian berlari secepat mungkin menuju rumah. Setelah sekian lama, mami akhirnya bisa meluangkan waktu untuk Lula. Tidak pernah bisa dimungkiri meski Lula kesal dengan mami yang tidak ada waktu, tetap terselip rindu ingin berkumpul dengan perempuan yang telah merawatnya sejak bayi tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Asmara [Complete]
Novela Juvenil[SEGERA TERBIT] --- "Sebenernya hubungan kita ini apa, sih, Ga?" "Sahabat, kan?" "Kalo cuma sahabat, kenapa lo peduli banget sama gue? Apalagi belakangan ini sikap lo nggak terlalu nyebelin, malah kadang perhatian gitu. Bener kita sahabatan aja?" ...