Selamat membaca ^^
*****
"Arga, gendong gue, dong!"
Bola mata Arga melirik malas. Bisa-bisanya Lula justru memerintah seenak jidat mentang-mentang sedang sakit.
"Ogah! Kaki lo masih bisa dipake buat jalan, nggak usah manja!" tolak Arga mentah-mentah. Dia tahu jika Lula masih sakit, terlebih setelah kejadian surat misterius tadi, tapi tetap saja Arga tidak akan berbaik hati menggendong Lula pulang sekolah ini.
"Hai, Lul," sapa Delvin tepat di depan Lula membuat yang disapa tersenyum lebar melupakan sakitnya.
"Halo, Delvin! Makin ganteng aja," balas Lula dengan wajah sok manis.
"Lebay," cibir Arga dan langsung dihadiahi pelototan oleh Lula.
"Lo kayaknya sakit, perlu bantuan gue nggak?" Delvin menghentikan Lula yang baru saja akan mencubit lengan Arga. Dari sorot matanya, Delvin seolah memberi pengertian agar Lula tidak marah-marah berhubung sedang sakit. Hal itu membuat Lula pun mengurungkan niatnya.
"Ma--"
"Nggak perlu! Lula bareng gue," potong Arga kemudian segera jongkok di hadapan Lula. "ayo naik, gue gendong sampe parkiran," ajaknya.
"Aduuuh, Lula bingung harus milih yang mana!" Lula memasang mimik wajah sedramatis mungkin seakan-akan ia dihadapkan pilihan antara hidup atau mati. Ya, kalau milih hidup atau mati, sih, pastinya milih hidup. Namun, kali ini pilihannya adalah sahabat atau cowok yang dia sukai. Lebih sulit daripada memilih hidup atau mati.
"Buruan naik!" Arga juga tidak mengerti mengapa otaknya mendadak mengubah pikiran, dari yang ogah menggendong Lula menjadi harus membawa gadis itu di pundaknya. Yang jelas, Arga tidak ingin jika Lula pulang bersama cowok bernama Delvin itu.
Sementara Lula yang mendengar nada bicara Arga--dingin dan tak terbantahkan--akhirnya mengalungkan kedua tangannya di leher Arga. Kedua kakinya berada di sisi kanan dan kiri pinggang Arga. Dadanya menempel dengan punggung Arga membuat Lula berdoa agar sahabatnya ini tidak mendengar ritme jantung Lula yang tidak keruan.
"Gue duluan, ya, Del," pamit Lula. Dari nadanya terdengar kesungkanan karena menolak ajakan Delvin dan malah pulang dengan Arga, bergendongan pula!
Arga melangkahkan cepat menuju parkiran. Entah karena tidak kuat menahan beban tubuh Lula lebih lama atau dikarenakan emosinya yang tidak stabil.
"Ga," panggil Lula pelan. Kedua sikunya ditumpukan pada bahu Arga sementara jemarinya memainkan rambut cowok itu. Meskipun berulang kali Arga memperingati agar tidak melakukan hal itu, tapi tetap saja Lula bandel sekali.
"Lo kenapa judes banget sama Delvin, sih?" Karena tidak mendapat respons atas panggilannya, Lula mulai menanyakan kejanggalan yang menjadi pikirannya. Meskipun otak Lula kadang lemot, ia juga sadar, kok, kalau sikap Arga kepada Delvin tidak bisa dikatakan ramah, semacam menyimpan dendam tersendiri.
"Gue cuma mikir dia nggak baik," jawab Arga singkat. Nada bicaranya datar.
"Terus kenapa kalo dia nggak baik? Apa hubungannya sama gue?"
"Kalo dia nggak baik, berarti bisa aja nanti dia ngapa-ngapain lo. Gue nggak mau lo kenapa-napa."
Gerakan jemari Lula terhenti. Jentungnya semakin menggila debarnya. Kalimat Arga tadi jelas tidak bisa dikatakan romantis, tetapi mampu membuat pipi Lula bersemu. "Sebenernya hubungan kita ini apa, sih, Ga?"
"Sahabat, kan?"
"Kalo cuma sahabat, kenapa lo peduli banget sama gue? Apalagi belakangan ini sikap lo nggak terlalu nyebelin, malah kadang perhatian gitu. Bener kita sahabatan aja?"
Arga masih bergeming. Membiarkan perkataan Lula membaur dengan semilir angin dan udara siang menjelang sore ini. Langkah kakinya terhenti begitu sampai di sebelah motor sport merah.
Keduanya belum bergerak menaiki motor. Lula menunduk menatap ujung sepatunya. Rasanya canggung setelah mengatakan hal frontal tadi kepada Arga. Namun, mau bagaimana lagi, pertanyaan itu sering menghantui Lula belakangan ini.
Arga menangkup kedua pipi Lula. Perlahan, menggerakkan kepala gadis itu agar mata Lula menatap tepat ke arah Arga. Melalui mata itu, perhatian, sayang, dan sejenis rasa lainnya ia salurkan. "Denger, gue nggak bisa tegasin apa pun tentang hubungan kita saat ini. Gue nggak mau bikin lo sakit hati nantinya. Gue bisanya saat ini cuma berjanji buat ada di sebelah lo dalam keadaan apa pun. Jadi, anggep aja gue sahabat tersayang lo begitupun sebaliknya," katanya dengan tatapan tak lepas dari mata bening Lula.
"Jadi gue boleh baper sama lo?"
Arga menaiki motor sambil menjawab perkataan Lula, "Terserah lo, tapi gue nggak bisa janjiin apa-apa saat ini."
***
Arga dan Lula telah berada di sebuah ruangan yang diisi barang-barang usang--telah lama tak terpakai. Gudang rumah Lula. Keduanya berada di sana untuk mencari beberapa barang yang sekiranya bisa menjadi bahan acuan mencari Papi dan gadis kecil di ingatan Lula.
"Mami beneran nggak di rumah, kan?" tanya Arga memastikan. Bisa ia lihat, Lula sekarang sedikit gugup jika diajak bicara setelah kejadian di parkiran tadi. Melihat itu, Arga memgang kedua bahu Lula lalu menghadapkan padanya. "jangan gugup. Anggep aja gue Arga yang kayak biasanya. Oke?"
Lula mengangguk kaku. Cengiran kecil muncul di bibir tipisnya. "Lo modus terus, ya, Ga, dari tadi pegangin gue terus," canda Lula. Seketika itu Arga menoyor kepalanya lantas mulai mencari barang yang bisa memberi petunjuk.
Lula mencibir pelan kelakuan Arga yang kembali menyebalkan. Namun, tak urung ia juga mengikuti kegiatan cowok itu--mencari sebuah petunjuk.
Keduanya mulai mencari di tumpukan-tumpukan benda yang telah ditutupi debu tebal. Terkadang Lula sampai bersin-bersin dan membuat Arga menanyakan apakah gadis itu baik-baik saja. Akan tetapi, Lula malah menimpali dengan kalimat bucin: "Aduh, lo kalo khawatir bikin gue baper, ya, Ga." "Iya gue nggak papa, kok, Ga, selama ada lo di samping gue." Dan masih banyak kalimat serupa yang dilontarkan gadis berkuncir kuda ini membuat Arga ingin membekap mulut Lula.
"Arga gue temuin sesuatu!"
*****
Hai~
Gimana part kali ini?
Emak baper sama Arga masa :v wkwk efek jones kali, ya.
Yuk, ramein komentar~
Jangan lupa tunggu part selanjutnya dan pencet bintang di pojok kiri, ya.
Terima kasih❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Asmara [Complete]
Teen Fiction[SEGERA TERBIT] --- "Sebenernya hubungan kita ini apa, sih, Ga?" "Sahabat, kan?" "Kalo cuma sahabat, kenapa lo peduli banget sama gue? Apalagi belakangan ini sikap lo nggak terlalu nyebelin, malah kadang perhatian gitu. Bener kita sahabatan aja?" ...