Selamat membaca ^^
*****
Arga menatap malas dua orang yang berjalan dengan jarak dua meter di depannya. Sudah seminggau sejak ia membulatkan tekad untuk tidak membiarkan Delvin memacari Lula, tapi sahabatnya itu justru berontak dan memaki Arga. Sebagaimana mestinya, Lula memilih menerima tawaran Delvin supaya ia mendapat informasi tentang papinya. Alhasil, kini Arga hanya bisa menatap gadis itu tanpa berniat menegur atau sebagainya.
"Kak Arga, nanti anterin aku beli novel, ya."
Satu lagi yang membuat hidup Arga semakin memuakkan adalah cewek di sebelahnya, Kasyana Dewinta alias adiknya Lula. Tentu saja saat Delvin dan Lula jadian, Syana jadi memiliki akses untuk tambah dekat dengan Arga, meski respons terpaksa terpancar jelas di wajah cowok itu. Arga hanya menggumam malas untuk menjawab ajakan itu.
Lula menghela napas kala mendengar samar-samar percakapan Arga dan Syana. Ia tahu, Arga jelas sangat tersiksa dengan keputusan ini, tapi dirinya percaya ini keputusan terbaik, setidaknya untuk saat ini. Ke depannya, Lula tidak yakin ia sanggup berada dalam hubungan berlandaskan keterpaksaan. Mungkin awalnya ia mengagumi Delvin karena menurutnya cowok tersebut adalah sosok sempurna tanpa celah, tapi semua penilaian itu jelas berubah ketika tahu bahwa sosok itu juga ikut andil dalam teror yang menimpa Lula. Intinya, keputusan yang ia ambil sama-sama menyakitkan bagi dirinya sendiri maupun Arga sebab tidak ada orang yang mau menjalin hubungan berdasar keterpaksaan.
***
"Duduk dulu, Del. Gue buatin minum." Lula meletakkan tasnya di sofa ruang tamu rumahnya kemudian pergi ke dapur untuk mengambil barang yang ditawarkannya pada Delvin.
Sementara Delvin di tempatnya tengah mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang ia tempati. Tidak ada menarik, hanya berisi hal-hal biasa seperti televisi, lukisan, dan beberapa foto. Rumah ini terasa sepi, tidak heran jika Lula berusaha keras mencari papi dan adiknya supaya mengisi kekosongan yang melingkupi, begitu pikir Delvin.
Sejujurnya Delvin memang menyukai Lula. Akan tetapi, ia sadar hati gadis itu telah jatuh pada cowok cowok lain yaitu Arga. Niat awal Delvin pun hanya membantu Syana untuk membuat keluarga cewek yang ia anggap sebagai adik itu mengalami tekanan seperti yang dirasakan papi. Namun, niat itu tersisih seiring cinta hadir antara Delvin dan Lula. Ia dan Syana akhirnya juga berencana menjauhkan Lula dan Arga. Terdengar picik, tapi setiap manusia mungkin pernah berpikir untuk memperjuangkan haknya dan abai pada orang lain. Ya, Delvin percaya itu, makanya sekarang dia berada di titik ini.
"Ini minumnya."
Suara Lula membuat Delvin yang mengelanakan pikirannya tersadar. Walau diliputi rasa bersalah karena rencana licik ini, Delvin berusaha tidak peduli, mungkin untuk saat ini.
"Makasih, ya, Del, udah pertemuin gue sama Papi," ucap Lula kala cowok yang berstatus pacarnya tengah sibuk menyesap jus jeruk yang ia buatkan.
Beberapa hari lalu, Delvin benar-benar menepati janjinya, memberitahu Lula di mana keberadaan papi. Saat itu tangisnya langsung pecah. Rindu yang ditahan sejak dulu tumpah. Kata dokter, kondisi papi mulai membaik sehingga waktu itu bisa mengingat sedikit-sedikit tentang Lula.
Mami juga tahu tentang hal tersebut. Perempuan itu turut simpatik akan kejadian yang menimpa mantan suaminya. Ia juga membatalkan rencananya untuk menikah kembali sebab Lula meminta mami menebus kesalahan yang dilakukan perempuan itu. Kesalahan kecil--sering meninggalkan Lula untuk urusan bisnis--tapi mampu membuat mami menuruti keinginan gadis itu. Rencananya lagi, setelah papi benar-benar pulih, Lula akan meminta keduanya berbaikan meski tidak rujuk, jika tidak memungkinkan.
"Lo korbanin cinta lo buat hal itu. Gue rasa setimpal," balas Delvin tenang.
"Gue nggak korbanin cinta, kok. Satu-satunya cinta paling besar dalam hidup gue itu keluarga." Lula menatap Delvin dengan senyum tipis. Arga yang bikin gue percaya cinta dalam keluarga, tambahnya dalam hati.
"Bukannya Arga sahabat lo?"
Lula memalingkan wajahnya, menatap lurus layar televisi yang mati. "Seenggaknya begitu sebelum kejadian hari itu," akunya, "bagi gue, Arga itu sosok yang bikin hidup kelabu gue jadi punya warna. Dia ngajarin gue tersenyum dalam keadaan apa pun. Katanya, dengan tersenyum, kita nggak perlu jelasin ke banyak orang tentang apa yang terjadi. Orang yang benar-benar peduli pasti memahami mana senyum asli dan mana senyum sebagai penyamar luka yang terjadi."
Delvin tertegun. Sampai saat ini, dia belum pernah menemukan sahabat seperti itu atau memang dia tidak pernah memiliki sahabat, bahkan teman. Satu-satunya teman yang ia miliki adalah kesepian. Ibunya meninggal saat melahirkan dirinya. Ayahnya sibuk dengan pekerjaan. "Semua orang pasti berada di titik nggak peduli. Jadi, Arga pasti juga gitu, nggak mungkin sesempurna itu," bantahnya.
Lula mengangguk samar. "Memang, tapi seenggak pedulinya Arga, dia selalu punya cara buat bikin keadaan membaik."
"Termasuk keadaan saat ini?"
"Mungkin."
Keduanya terdiam. Delvin ditikam rasa bersalah. Ia ternyata bukan hanya menghancurkan dua insan yang saling mencintai, tapi juga hubungan yang belum pernah Delvin dapati setulus ini.
Sementara itu Lula membawa angannya kepada ingatan di mana dirinya dan Arga sering berdebat, curhat, atau saling mengejek. Kenangan itu manis, tapi menyesakkan. Berulang kali Lula berusaha menabahkan perasaannya, tetapi akhirnya akan selalu sama, Arga masih menguasai sebagian besar hatinya.
Ketika mereka larut dalam pikiran masing-masing, pintu terbuka lebar dan menampakkan sosok bersetelan blazer berwarna cokelat susu dan bawahan rok hitam dengan rambut sebahu berdiri di tengah pintu. Tangannya bertumpu pada lutut, napasnya tersendat-sendat diiringi bahunya yang naik turun, isakan juga terdengar pelan.
"Mami kenapa?" tanya Lula. Ia bangkit dan menghampiri maminya. Terlihat jelas selaput tipis menyelimuti bola mata perempuan yang telah melahirkannya itu. Bisa Lula tebak, sesuatu yang buruk telah terjadi.
"Sayang, Papi ...."
Berta menggantungkan kalimatnya. Ia seolah memiliki beban berat mengatakan hal ini. Sekali lagi ditatap wajah putrinya yang dipenuhi kegelisahan.
"Papi kenapa, Mi?"
"Papi meninggal."
*****
Jangan lupa vote, coment, and share, ya~
Terima kasih❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Asmara [Complete]
Teen Fiction[SEGERA TERBIT] --- "Sebenernya hubungan kita ini apa, sih, Ga?" "Sahabat, kan?" "Kalo cuma sahabat, kenapa lo peduli banget sama gue? Apalagi belakangan ini sikap lo nggak terlalu nyebelin, malah kadang perhatian gitu. Bener kita sahabatan aja?" ...