From Me, The Moon

82.6K 3.2K 541
                                    

Kau terus melangkah untuk menyembuhkan luka orang lain ketika sebenarnya kau juga terluka dan berharap salah satu yang kau sembuhkan mampu menyembuhkanmu juga.

****

"Hmmm..."

Jari gue mengetuk meja beberapa kali. Dahi mengkerut dengan mata menyipit mencoba melihat dengan jelas foto resmi yang ada di di ujung kanan kertas A4 ini. Anak zaman sekarang kalau ngeprint pake mesin apaan dah? Kalkulator? Burem bener. Lagian kok bisa-bisanya mau kerja di cafe aja pake ngasih CV kerjaan yang fotonya pake foto resmi.

Gue ambil kertas yang lain yang sudah gue sisihkan di samping mesin penghangat kue. Gue telisik satu persatu mencari siapa yang paling cantik dari kedua pelamar yang bakal calon kerja di cafe ini.

Ah gue mah emang gitu orangnya. Kerja di cafe itu yang penting paras. Kalau parasnya cakep, pasti banyak yang iseng-iseng foto, terus upload, terus temen-temennya pada penasaran itu pelayan di cafe apa, dan pada akhirnya mereka dateng ke sini deh. Gapapa, gue mengeskploitasi paras karyawan gue kaya mucikari, tak masalah. Namanya juga bisnis. Mucikari berbasis Syariah.

"Oke sip yang ini aja. Wajahnya lucu juga. Semoga gak kaya dulu deh, bentuk asli sama bentuk yang ada di foto beda jauh." tukas gue seraya membuang lamaran yang lain ke tempat sampah dan mencoba menghubungi nomer yang ada di cv yang sedang gue pegang sekarang.

Sebenarnya gue agak kurang percaya sama yang kelihatan cakep di foto. Dulu tuh gue pernah ada pengalaman buruk, di foto sih beuh cakep bener. Jangankan orang, ayam aja liat dia langsung betelor. Tapi waktu gue panggil ke cafe buat interview dan kemudian dia muncul, nyawa gue langsung ilang setengah. Gue merasa ditipu habis-habisan. Di foto sih cakep kaya orang, lah yang dateng bentukannya malah mirip sama kabel gimbot.

"Mas password wifinya apa?"

Tiba-tiba gue dikagetkan oleh satu orang remaja dengan kacamata dan rambut berantakan. Dari pakaiannya sih tampaknya dia pekerja kreatif zaman sekarang. Kadang gue pengen deh sekali-sekali nanya sama mereka apa mereka ini sudah mandi atau belum. Kucel amat kaya taplak warteg. Walau gue kesel sama tipe pelanggan yang kaya gini, pesen dikit tapi nongkrong lama, namun apa boleh buat. Toh Cafe juga masih baru buka pagi-pagi begini.

"TumisDengkulMonyet, mas. Disambung, pake huruf kecil semua." Jawab gue.

Tapi bukannya balik ke meja, lah dia malah ketawa. Ini udah keseribu kali orang ketawa waktu gue kasih tau password wifinya. Goblok bener dah, dulu gue iseng ngasih password itu waktu pertama kali pasang internet di sini. Dan sekarang waktu gue mau ganti passwordnya, gue udah lupa sama ID dan Password router apa. Alhasil mau gak mau itu password berengsek harus jadi brand image yang mau-gimana-lagi-harus-gue-terima. Bahkan kemarin waktu gue lagi nganterin bitterballen buat meja nomer 5, gue sempat curi dengar dari beberapa mahasiswi yang lagi nongkrong.

"Eh ke sini dong.." Ujarnya heboh sambil mengangkat telepon, dia diam sebentar, sebelum kemudian melanjutkan ucapannya sambil tertawa, "Gue lagi di cafe dengkul monyet." katanya yang dibarengi tawa temannya yang lain.

Gue yang denger hal itu rasanya pengen nangis sambil jalan ke dapur.

****

Gue meminta pelamar barusan agar datang pukul dua belas ketika jam istirahat makan siang. Cafe masih tidak begitu ramai. Hanya beberapa orang yang datang dan membeli kopi kekinian untuk dibawa balik ke kantornya masing-masing. Atau para ojek online yang sudah terbiasa nongkrong di sekitaran cafe.

Gue memutarkan lagu-lagu pelan untuk siang yang panas ini. Hari ini menu spesialnya adalah Sweet Ice Lemongrass. Menu paling favorit untuk mereka-mereka yang tidak suka menu kopi pahit. Biasanya yang pesan ini adalah mahasiswi dari kampus yang berada tak jauh dari sini. Mereka sering mampir bergerombol, lalu membuka laptop, tapi kemudian malah asik ngegosip sendiri dan laptopnya dibiarin gitu aja.

"Terima kasih, datang lagi yaaa." Ujar gue ramah seraya memberikan kembalian beserta struk pembelian kepada mbak-mbak cantik kantoran yang roknya ngetat banget kaya bungkus lemper.

Waktu gue lagi menyusun uang di mesin kasir, dari arah pintu belakang datanglah seseorang yang sudah tidak asing lagi. Gue hanya melirik sedikit tapi langsung gue palingkan dan pura-pura menghitung uang yang ada di laci kasir. Tangan kanannya sibuk menggenggam hp entah sedang chat dengan siapa, tangan kirinya menenteng tas kulit berisikan macbook 12 inch keluaran terbaru. Tampilannya modis sekali. Beda sama gue yang saat ini sedang memakai celemek yang bolong sedikit tepat di bagian udel karena dulu pernah gak sengaja nyenggol kompor.

Dia berjalan tanpa melihat ke arah gue sedikitpun, namun tiba-tiba ia berhenti tepat di depan gue dan langsung hadap kiri mirip kaya orang lagi upacara. Gue sedikit tersentak, pahlawan pattimura di uang yang lagi gue pegang juga ikut tersentak.

"Ngg.. mau berangkat kerja?" Tanya gue sambil tersenyum paksa tapi ia tidak menjawab. Bahkan melihat gue saja tidak.

Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi membuat ia sedikit kesulitan melihat ke arah laci mesin kasir yang kebetulan memang letaknya sedikit lebih tinggi dari tempat orang memesan. Dia memiringkan kepalanya mencoba melihat ke area tempat gue menyimpan uang.

Tanpa ucap apa-apa, secara tiba-tiba dia langsung menyambar uang seratus ribuan di laci mesin kasir sampe ludes gak bersisa dan kemudian pergi begitu saja keluar pintu cafe.

Gue yang melihat hal itu hanya terdiam menelan ludah.

"Punya istri kok ya gini-gini amat Tuhan.. Dulu gue salah ngomong ijab kabul apa gimana sih ini? Tingkahnya nyebelin banget kaya Tukang VCD bajakan." Gerutu gue yang hanya bisa mengeluh dari jauh. Soalnya kalau gue ngeluh di depan dia, sama aja kaya cari mati. Jangankan gue, setan aja sungkem kayaknya kalau dia lagi marah.

BRAK!!
Tiba-tiba pintu cafe dibuka kencang sampai bel yang gue taruh di atasnya somplak dan jemping menghadap ke atas gak mau turun-turun lagi.

Waduh, jangan-jangan dia denger lagi waktu gue ngomong barusan? Wah tamat sudah riwayat gue sekarang.

Dia dengan tergesa-gesa berjalan ke tempat di mana ia sempat terdiam tadi, tepat di depan mesin kasir. Dia menatap gue kasar, lalu menurunkan tatapannya ke jemari gue.

"Cincin gak dipake?!" Tukasnya ketus.

"Eh.. a-anu.. i-itu a-da.." Dengan gagap gue langsung merogoh saku dan memakaikan cincin pernikahan itu ke jari manis gue sendiri. "Tadi waktu cuci piring aku lepas dulu, takut copot terus nyemplung ke dalem gorong-gorong. Kan sayang kalau hilang." Lanjut gue.

Dia hanya menjawab dengan dengkuhan napas yang panjang. Seperti tidak percaya dengan apa alasan yang gue ucapkan sebelumnya. Tanpa banyak kata, ia kemudian berbalik dan pergi lagi meninggalkan gue begitu saja.

Trrrt...
Belum lama, hp gue bergetar, satu sms masuk. Waktu gue ngeliat siapa nama pengirimnya, gue langsung menelan ludah..

"Istriku Cantik Luar Dalam Mirip Aura Kasih Uwuwuwuwuw.."

Begitu gue baca isi smsnya, jantung gue sempat berhenti sebentar.









"Sore nanti kita cerai."



K U D A S A IWhere stories live. Discover now