Someone To Stay

45.3K 2.1K 798
                                    

Pada akhirnya kau benar-benar hilang.
Tepat di saat aku sedang butuh-butuhnya.

Salahku; menggantungkan bahagia 
pada seseorang yang pernah kukira akan selalu ada.

****

Di perjalanan pulang, pikiran gue melayang gak karuan. Berkali-kali gue menengok ke belakang seperti ada perasaan tidak tega untuk melangkah menjauh seperti ini. Tapi di tiap gue kembali menengadah ke depan, bulu kuduk gue berdiri. Gue baru inget kalau gue udah punya istri yang galaknya kaya tuan takur. 

Ingin sekali gue mengatakan yang sebenarnya kepada Anet, tapi selalu gue urungkan mengingat keadaannya yang sedang seperti itu. Gue tidak mau kejujuran ini justru menambah beban hidupnya oleh karena kenyataan bahwa pilihan untuk kembali itu kecil sekali kemungkinannya. Tapi tidak kunjung mengatakannya pun rasa-rasanya seperti sedang menyimpan bom waktu.

Gue masuk kembali ke kantor Twindy, berjalan lunglai dan masuk ke ruangannya tanpa mengetuk sama sekali.

"Twi—"

"Dari mana!" Tiba-tiba Twindy langsung bertanya dengan nada yang kayanya bukan nada bertanya deh, tapi nada pak RW lagi marah-marah sama pegawai posyandu.

Gue yang tadi mau melangkah maju langsung mundur mepet pintu, siap-siap pergi lagi kalau-kalau Twindy ngelempar gue pakai tinta printer di mejanya.  Baru juga masuk, gue langsung disemprot sama Twindy yang lagi duduk di kursinya dan menatap gue galak banget.

"Kamu dari mana?!"

"Ngg... Itu.. Ma-Makan Siang, Bu.." Saking takutnya, gue sampai nyebut istri gue dengan panggilan Ibu.

"Makan siang apa sampe jam empat gini?!"

"Na-nasi padang."

"Kamu makan nasi padang di mana?! Sumatra barat?! Bohong ya kamu?! Kamu nyembunyiin apa lagi dari aku?!!"

Buseeeet tebakannya tokcer bener nih istri gue. Pasti di kehidupan sebelumnya dia ini renkarnasi dari panitia judi togel. 

"Engga koook... Aku jalan-jalan aja di sekitar sini.. Nongkrong di cafe depan. Ngicipin menu-menu mereka sekalian studi banding. Lagian masa aku nunggu di kantor ini sampe kamu pulang? Kan mending duduk di cafe.." Gue mencoba berbicara dengan tenang meski rasanya jantung gue udah turun sampe selangkangan.

Twindy hanya menatap gue dengan pandangan menyelidik. Dia tidak lagi bertanya lebih jauh. Tampaknya dia percaya sama omongan gue barusan. Alhamdulillah.. Ya Allah gapapa deh bohong sama istri, daripada harus dipaksa nyicil siksa kubur nanti pas udah di rumah. Gue paling takut kalau Twindy udah capek, kesel, dan marah dalam satu waktu. Dulu pernah dia lagi capek masalah kerjaan, lagi bete sama gue, terus pas sampe rumah, mobilnya kegores oleh bola sepak yang lagi dimainin sama anak-anak komplek. Selang satu jam, anak-anak itu pulang dalam keadaan udah disunat semua.

Serem banget pokoknya.

"Kamu pulang jam berapa jadinya?" Gue mencoba mencairkan suasana sembari mengambil kotak bekal makan siang yang sempat gue bawakan untuk Twindy dan mencucinya sebentar di wastafel.

Twindy tidak menjawab. Ia masih sibuk membolak-balikan kertas yang tebel banget di mejanya itu.

"Sayang.." Sapa gue lagi.

K U D A S A IWhere stories live. Discover now