Please Never Fall in Love Again

35.2K 1.9K 661
                                    


Aku pernah menjadi tempat selepas bahagiamu habis.
Yang kau bagi dari deras air mata.
Yang menampung luka dari buah hasil perbuatan orang lain.

****

Keringat mengalir deras, dari dahi, turun ke leher, melewati payudara, bermuara di kaki. Kondisi gue sekarang sudah basah kuyup oleh keringat sendiri, bener-bener kaya habis diompolin kucing. Jakun gue naik turun menelan ludah beberapa kali. Ingin berbicara tapi kata sudah terlanjur melekat di tenggorokan dan rasanya tidak mau keluar. Twindy masih menatap gue berharap mendapatkan jawaban yang memuaskan meski pada intinya apa pun jawaban yang gue keluarkan nanti, tetap saja dia sudah siap menghantarkan gue ke Neraka Hawiyah.

"Sebelum kamu mikir yang aneh-aneh lebih jauh, aku mau jelaskan. Tapi aku mohon, tolong dengarkan penjelasan aku lebih dulu." Gue mencoba tegas. Karena biar bagaimanapun posisi gue di sini adalah seorang suami Gue laki-laki. Gak seharusnya gue menunduk terus setiap hari.

"APA?!" Bentaknya kencang.

"Ampuuun..."

Hilang sudah keberanian gue dengan sekali bentak. Keberanian bak dinosaurus tadi langsung berubah menjadi kunang-kunang dengan sekali pertanyaan aja dari Twindy. Benar-benar keturunan api neraka nih istri gue. Kadang-kadang gue bangga sama dia. Gak tau bangga karena apaan. Pokoknya bangga dulu aja.

"Oh oke.." Dia terkekeh meledek lalu mengangkat tangannya, "Kali ini, mending selesai beneran aja.." Kemudian dia mulai perlahan mencopot cincinnya dari jari manisnya itu.

Gue terkejut. Dengan cepat gue langsung menangkap tangannya, "Sayaaaaang... Jangaaaaan...." Ucap gue memelas. Gak ada gagah-gagahnya sama sekali.

"Sayang manisku cintaku uwuwuwu, tolong dengerin penjelasan aku dulu... Kamu salah paham, beb. Yuk kita bicarakan pelan-pelan ya. Sambil makan makanan ena. Gimana? Mau? Aku buatin apa aja yang kamu mau." Gue masih terus menggenggam tangan kirinya berharap tangan itu tidak mencopot cincin yang melekat di jari manisnya.

Tapi sepertinya rayuan gue barusan benar-benar tidak mempan. Twindy sudah kepalang marah dan tidak mau mendengarkan penjelasan gue dulu.

"Maaf bu.."

Tiba-tiba perhatian kami berdua teralihkan ke belakang. Dua kolega Twindy berdiri menghampiri. Dengan cepat Twindy menghempaskan tangan gue dari tangannya sampai tangan gue ngondoy karena menghajar mesin kopi yang panas di belakang gue.

"Untuk masalah pembuangan air di Proyek Sentul tampaknya harus dibenahi secepatnya. Mengingat sebentar lagi akan masuk musim penghujan. Baiknya segera presentasi di depan tim dulu, Bu.."

Twindy terdiam sebentar, ia melihat ke arah gue yang lagi niup-niupin tangan, lalu kembali melihat koleganya, "Kabari tim yang lain. Suruh kumpul di kantor 30 menit lagi. Bilang sama yang lain, kalau 30 menit lagi tidak ada di kantor, besok suruh kumpulkan surat pengunduran diri."

Twindy bersiap pergi sebelum tiba-tiba melihat ke arah gue sekali lagi. Dahinya berkerut, mulutnya cemberut. "Kalau sampai aku pulang nanti aku gak nemu penjelasan yang masuk akal. Jangan harap kamu bisa ngurus cafe ini lagi. Ngerti?!"

"Baik, bu.." Gue menunduk hormat seperti orang Jepang tanpa berani menatapnya.

Gue masih menunduk. Tidak berani mengangkat kepala. Sampai ketika gue dengar ada suara mobil pergi meninggalkan cafe ini, gue baru berani mengangkat kepala. Alhamdulillah nenek sihir itu sudah pergi. Begitu gue angkat kepala, ternyata Twindy masih ada di depan pintu dan masih tetap menatap gue.

"KENAPA SENYUM-SENYUM?!" Bentaknya sampai semua orang di cafe pada melihat ke arah kami berdua.

"TIDAK! MAAF! SAYA YANG SALAH KOMANDAN!" Dengan sigap gue langsung nunduk lagi.

K U D A S A IWhere stories live. Discover now