EPISODE 4: BISNIS TEPUK TANGAN DAN UPAYA MEMINIMALISIR TINGKAT KEBOHONGAN

71 6 0
                                    

Suatu hari, dosen mata kuliah pemasaran yang kecantikannya tak usah dipertanyakan lagi menugaskan mahasiswa-mahasiswanya untuk menentukan 1 jenis usaha yang cocok dijalankan di era modern seperti sekarang ini beserta alasannya. "Ingat, minggu depan tugasnya dipresentasikan di depan kelas, ya," imbuh sang dosen sebelum meninggalkan kelas.

Bagi sebagian orang, tugas tersebut mungkin bisa dikategorikan sebagai tugas kelas rendah yang metode penyelesaiannya tidak memerlukan waktu lama dan tanpa melibatkan rumus-rumus menyebalkan seperti dalam mata kuliah statistik dan akuntansi. Bagi Patricia, misalnya. Dia berencana untuk membuat usaha kuliner, yakni berupa inovasi terhadap makanan-makanan yang sudah sering di temui di kehidupan sehari-hari atau menciptkan jenis makanan baru dari bahan yang tidak biasa. Misalnya: cilok bumbu spageti, bakso dengan bahan dasar daging keong, bola-bola ubi isi keju mozarela, keripik kulit singkong, dan masih banyak lagi rencana-rencana rencana lainnya. Adapun saingan terberat Patricia, Fransiskus berencana untuk mendirikan pusat hypnotherapy bagi masyarakat yang ingin menjalankan pola hidup sehat tapi tidak suka olahraga dan makan-makanan sehat. Ya, hampir semua mahasiswa di kelas tersebut telah menentukan satu usaha yang akan dijalankan di masa mendatang dan dipresentasikan pada kelas pemasaran minggu depan.

Sementara itu, Entis yang sejatinya tidak menyukai dunia usaha benar-benar terbebani dengan tugas yang diberikan dosen pemasaran tersebut. Sudah 5 malam ia habiskan dengan sia-sia. Semua referensi yang ia temukan di media massa dan media sosial tak juga membantunya menemukan jawaban. Jenis-jenis usaha yang ia temukan di kedua media tersebut cenderung terlalu mainstream. Ada beberapa yang unik, tapi terlalu rumit dan membingungkan. Bisa gawat jika dosen menanyakan alasannya saat presentasi.

Dan seperti kebanyakan mahasiswa pada umumnya, Entis baru bisa memikirkan jawaban atas tugas kuliahnya di detik-detik terakhir pengumpulan. Manusia-manusia zaman sekarang memanggilnya penganut SKS, Sistem Kebut Semalam. Ya, hampir sama kasusnya dengan pelajar-pelajar di luar sana yang baru bisa belajar di malam terakhir sebelum besoknya ujian.

Malam itu Entis seolah didatangi segerombol ilham yang entah dari mana datangnya. Suasana otak yang sebelumnya suram dan dipenuhi sarang laba-laba itu tiba-tiba saja membersihkan dirinya secara mandiri dan membuat mentari berjaya lagi. Otak hitam itu kembali menjadi merah muda dan segar, Entis tak lagi risau.

Aha. Entis mengangkat telunjuk tangan kanannya sambil membayangkan sebuah lampu bohlam menyala terang di atas ubun-ubunnya. Laptop yang dari tadi dibiarkan terbuka itu kembali diambilnya, lalu ratusan kalimat yang berterbangan di kepala itu ia ikat lewat sebuah tulisan yang besok pagi akan dipresentasikan.

Keesokan harinya, nama Entis dipanggil di urutan ke-5 untuk mempresentasikan tugasnya. Dengan percaya diri Entis bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke depan kelas dengan selembar kertas di tangan.

"Usaha yang akan saya jalankan di masa depan adalah bisnis tepuk tangan," ujar Entis yang seketika itu juga membuat orang-orang dikelasnya saling bertanya, sebagian menahan tawa.

"Alasannya?" seseorang wanita bertubuh mungil di baris paling belakang bertanya dengan suaranya yang nyaring dan mengagetkan siapa saja yang mendengarnya.

"Menurut pengamatan saya selama 21 tahun hidup di dunia yang fana ini, bisnis tepuk tangan adalah tipe bisnis yang sangat menguntungkan. Alasannya, karena zaman terus berkembang dan membawa kemajuan dalam berbagai bidang. Kemajuan tersebut membuat manusia berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Mereka bahkan rela melakukan apa pun untuk mendapatkan pujian dan tepuk tangan dari banyak orang." Mendengar pemaparan yang belum selesai tersebut, semua mahasiswa yang ada di kelas itu memalingkan wajahnya pada Patricia dan Fransiskus, membuat mereka berdua tertunduk malu dan salah tingkah.

"Apakah bisnis ini sama dengan bisnis penonton bayaran?" kali ini bu dosen cantik yang bertanya.

"Oh, jelas beda, bu. Penonton bayaran itu dibayar untuk meramaikan sebuah acara hiburan saja. Misalnya bernyanyi lalala yeyeye atau melakukan hal konyol lainnya yang kadang lebih cocok disejajarkan dengan tindakan mempermalukan diri sendiri. Kalau bisnis tepuk tangan, orang-orangnya hanya dibayar untuk tepuk tangan atau bersorak secukupnya saja, lebih elegan deh pokoknya. Cakupannya juga lebih luas, bukan hanya di acara-acara hanya saja. Nah, apalagi di musim pemilu, bisnis ini pasti lebih menguntungkan. Kenapa? Karena permintaan pasar pasti meningkat drastis. Dan sebagaimana kita ketahui, semakin tinggi tingkat permintaan, semakin tinggi pula harganya." Entis berhenti sejenak, memikirkan improvisasi lain sambil menyakiskan wajah-wajah melongo para penghuni kelas yang sepertinya kurang faham.

"Begini, para calon pemimpin dan perwakilan rakyat tersebut pasti memerlukan tepuk tangan untuk melancarkan aksi cerdasnya. Coba bayangkan kalau setelah mereka berpidato tidak ada tepuk tangan dari audience. Atau ketika mereka berkunjung ke sebuah pasar tradisional atau ke sebuah pemukiman rakyat kecil dengan embel-embel merakyat tapi hanya sedikit orang yang bertepuk tangan dan meneriakkan nama mereka. Apalagi budaya pamer sudah sangat mendarah daging dengan mereka. Mereka pasti membawa tim peliput untuk menyiarkan aksi cerdasnya di berbagai media. Nah, kalau sampai kedatangan mereka tidak disambut dengan penuh antusias, bukan pujian dan citra baik yang mereka terima, tapi rasa malu yang membuat mereka tertekan hingga lahirlah strategi-strategi baru yang lebih bajingan. Sogok-menyogok, misalnya. Mengumbar janji palsu, memitnah kubu pesaing, saling menjatuhkan, dan hal-hal licik lainnya yang berujung pada pengkhianatan kepercayaan masyarakat. Jika seperti itu, siapa yang lebih dirugikan? Kita! Jadi, secara tidak langsung, bisnis tepuk tangan juga akan meminimalisir tingkat omong kosong calon wakil rakyat dan suhu tinggi politik di negeri ini."

Entis melipat kertas berisi pemaparan tersebut, menandakan bahwa presentasinya sudah selesai. Ia pun kembali ke tempat duduknya, berjalan penuh kehormatan dengan diiringi tepuk tangan.

Di akhir jam pelajaran, Entis sangat terkejut saat sang dosen memberitahu bahwa nilainya adalah C.

Untuk presentasi sekritis ini, kenapa harus C? tanyanya dalam hati yang kemudian ditanyakan secara langsung pada sang dosen dengan bahasa yang lebih sopan.

"Presentasi kamu itu terlalu mengada-ngada dan tidak konsisten. Harusnya kamu fokus di alasan kenapa kamu memilih usaha tersebut, bukan malah orasi dan mengumbar ujaran kebencian," jawab si dosen cantik dengan nada sedikit kesal sebelum akhirnya pergi meninggalkan kelas karena khawatir Entis akan mendebatinya.

Mendengar pernyataan tersebut, Entis begitu yakin bahwa satu-satunya orang yang bisa dikategorikan sebagai manusia bodoh dalam hal ini tidak lain adalah dosennya sendiri. Sepertinya wanita cantik itu lebih cocok jadi reseller yoghurt ketimbang jadi dosen, ujarnya dalam hati. Ia yakin, usaha yang dipilihnya adalah usaha paling sempurna di masa kini dan di masa yang akan datang. Tapi untuk memahami bisnis tersebut, diperlukan tingkat pengetahuan yang tinggi dengan sedikit imajinasi. Dan sang dosen tidak memiliki 2 kriteria tersebut.

Entis pun bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke luar kelas untuk mencari makanan dengan harapan kekesalannya pada sang dosen bisa berkurang. Namun baru saja 3 langkah dari pintu, Max memukul pundak sebelah kanannya, membuatnya sedikit terkejut.

"Ada apa, Max?" tanya Entis.

"Gak ada apa-apa, sih. Gue cuma mau bilang kalau presentasi lo tadi bagus banget. Tapi, umm... tapi..."

"Tapi, apa?"

"Tapi, sejak kapan lo perhatian sama politik?"

Deg! Entis mendadak bisu. Sejak kapan, ya? Sejak kapan?Sejak kapan?

***

SIAPA YANG BODOH?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang