EPISODE 6: LELAKI GADUNGAN

24 4 0
                                    

Jika waktu kecil Entis kerap dipanggil cewek karena tidak suka main bola, Entis remaja kerap dipanggil banci oleh keempat orang temannya karena tidak suka merokok. Dan panggilan tersebut bertahan selama kurang lebih 4 tahun, dari kelas 3 SMP sampai kelas 3 SMA.

Merokok tampaknya sudah menjadi gaya hidup bagi sebagian besar pemuda di lingkungan tempat tinggal Entis. Beberapa dari mereka bahkan mempunyai markas khusus di sekolah untuk menghabiskan jam istirahat sambil merokok, ngemil dan bermain games online. Hal tersebut jelas melanggar peraturan sekolah. Tapi apa masih bisa dikatakan sebagai pelanggaran jika selama ini mereka tidak pernah ketahuan? Atau mungkin pihak sekolah sudah mengetahui dari lama, tapi melumrahkannya dengan alasan ini itu yang mengarah pada kalimat tidak mau ribet? Ah, entahlah. Lagipula Entis tidak terlalu mempermasalahkan panggilan tersebut karena ia tahu kalau teman-temannya tengah bergurau, hanya candaan semata. Namun, semakin waktu bergulir, mereka semakin sering memanggilnya banci dan tidak segan mengatakannya walaupun di tempat umum. Ketika kerja kelompok, misalnya. Ketika salah satu teman menawarinya rokok, tapi Entis menolaknya.

"Lu masih gak ngerokok?" tanya teman Entis agak menyindir.

"Enggak," jawab Entis singkat.

"Banci lu!"

Hal lain yang memancing panggilan tersebut keluar dari mulut-mulut seorang oknum teman adalah ketika salah satu dari mereka lupa membawa korek.

"Tis, lu bawa korek enggak? Eh, iya, gue lupa. Lu kan banci, mana mungkin bawa korek," setelah itu mereka tertawa lepas.

Ya, semakin intens panggilan tersebut disematkan pada dirinya, semakin ia tak mau lagi berteman dengan keempat orang yang sudah lebih dari 3 tahun menemaninya itu. Tapi konsekuensi ketika ia memutuskan untuk tidak lagi berteman dengan mereka adalah ia akan rentan kena bully di sekolah dan belum tentu ia mendapatkan partner main games yang lebih asyik dari mereka. Jadi ia memutuskan untuk tidak meninggalkan keempat oknum temannya dan lebih memilih mencari cara yang lebih halus agar ia tak lagi dipanggil banci.

Lalu pada suatu malam yang dingin, kesempatan yang sudah lama dinanti Entis pun akhirnya datang tanpa diundang. Malam itu, lima sekawan yang baru saja pulang malam mingguan terdampar di sebuah halte karena hujan deras dan semuanya lupa membawa jas hujan. Di saat-saat seperti itu, tentu saja rokok menjadi dewa penyelamat bagi tubuh-tubuh yang kedinginan. Isapan demi isapan seolah memberikan kehangatan tak terbatas dan mengepulkan asap kedamaian yang lembut nan nikmat. Kecuali bagi Entis, itu sama sekali tak berarti kecuali sebagai polusi yang banyak digemari penduduk bumi. Namun kedamaian tersebut berakhir ketika 4 orang datang dari kegelapan malam dan menjadi bagian dari halte yang diguyur hujan deras. Tubuh mereka cukup tinggi karena bantuan high heels. Betisnya kokoh, lengannya cukup kurus tapi berotot, rahangnya kuat dan wajahnya dipenuhi riasan berlebihan yang sama sekali tak menawan; lipstik merah menyala, bulu mata setebal lidi, bedak tebal yang warnanya kontras dengan warna leher, dan, ah, mereka punya jakun yang menonjol sekaligus payudara besar yang kokoh. Jelas sudah, mereka adalah banci sesungguhnya. Ya, setidaknya itulah yang dikatakan khalayak ramai.

Semula keadaan baik-baik saja sampai keempat orang yang kebasahan itu mendekati Entis dan keempat temannya dengan senyuman menakutkan dan langkah kaki yang dramatis bak Cinderella mendekati pangeran untuk berdansa. Lalu kelima pemuda tersebut mendadak berdebar dadanya, khawatir sesuatu yang buruk menimpanya.

"Duh, gimiana nih? Gue gak mau diperkosa banci," bisik seorang teman Entis sambil ketakutan. Dan diantara 5 sekawan tersebut, Entislah yang terlihat paling tenang. Ia bahkan menertawakan wajah konyol keempat temannya yang sebelum-sebelumnya tak pernah sekacau itu.

"Hey, tampan," sapa seorang banci dengan suara basnya yang diredam sedemikian rupa. "Mau rokok, dong," imbuhnya.

Semakin mereka mendekat, semakin jelas ketakutan yang tergambar di wajah-wajah pemuda yang biasanya sok jagoan itu. Sedang Entis yang dari tadi terlihat tenang tiba-tiba saja maju ke depan, mengambil sebungkus rokok dari saku jaket temannya yang ketakutan lalu memberikannya pada empat orang lelaki kemayu yang nampak bergairah itu. Setelahnya, ia menatap keempat temannya yang juga terheran-heran menatapnya.

"Di antara sembilan orang yang ada di halte ini, gue rasa cuma gue yang cowok tulen. Yang lainnya banci," cetus Entis, tersenyum menyindir.

Tak lama para pemuda turun dari halte, menyalakan motornya, lalu melejit cepat bak pembalap menerobos deras hujan tanpa jas hujan. Sedang sepanjang perjalanan, Entis yang kebetulan membonceng seorang teman masih tersenyum dan sesekali tertawa girang karena merasa telah menjadi laki-laki sejati, sementara teman-temannya masih on proses.

***

SIAPA YANG BODOH?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang