EPISODE 1: GELITIK POLITIK

182 10 12
                                    

Walaupun nilai Ujian Akhir Semesternya didominasi oleh C dan D, Entis selalu merasa paling pintar di kelasnya. Ia menganggap teman-temannya telah memanipulasi nilai dengan taktik-taktik klasik dan beragam cara yang lebih kekinian. Mungkin memberikan uang tip, traktir makan siang, Video Call-an, tag postingan instagram, promote akun di instastory, memberikan kecupan di pipi kanan kiri, atau menjual aset atas bawah yang katanya sangat berharga. 

Entahlah, Entis hanya menganggap kalau teman-teman sekelasnya itu tak pantas mendapat nilai A atau B. Mereka terlalu bodoh untuk seukuran mahasiswa ekonomi semester 4. Bayangkan saja, barang-barang di kelas yang tak berdosa dan tak tahu apa-apa telah menjadi pelampiasan orang-orang tak beradab. Tempat sampah plastik di balik pintu itu sudah tak mampu menelan sampah-sampah sisa cilok, seblak dan kaum-kaum sejenisnya karena perutnya bocor ditendang orang bersepatu mahal. Papan tulis pun sudah hampir menyerupai wajah penuh lubang jerawat, bolong-bolong di beberapa bagian. Tangan-tangan gatal itu telah memperkosanya. Dan yang paling parah adalah keadaan bangku-bangku kuliah yang dipaksa berpisah dengan kawanannya. Mahasiswa-mahasiswa yang mengaku kritis itu telah membentuk 2 kubu tempat duduk dan menyisakan sebuah terowongan lebar penuh debu-debu halus di tengah-tengahnya. Dan yang menjadi induk dari segenap permasalahan tersebut adalah perbedaan pilihan capres. 

Menurut kubu A, capres cawapres pilihannya sangat layak memimpin negeri ini, sedangkan capres cawapres yang satunya lagi sama sekali tidak memiliki kriteria seorang pemimpin. Pun sebaliknya menurut kubu B. Dan setiap kali terjadi perdebatan antara kedua kubu tersebut, Entis hanya duduk-duduk santai di kursi dosen, bermain Mobile Legend sambil sesekali menyaksikan oknum-oknum orang pintar berdebat. Ia tampak seperti Karni Ilyas versi akhir bulan atau Najwa Shihab versi laki-laki kampret.

Entis terlalu malas mengurusi politik. Baginya politik jauh lebih membingungkan daripada sinetron-sinetron azab kesukaan kaum ibu di kampung halamannya. Sedikit-sedikit saling sindir, sedikit-sedikit bawa konfik. Terlebih banyak oknum yang membawa genre lain ke dalam dunia politik dan menjadikannya semakin menggelitik. Sudah tahu orang-orang di negeri ini mudah tersulut. Sekali menyalakan pematik, 1, 2 kampung terbakar habis. Dapat kabar hoax saja dicerna, disebarkan pula di media sosial dengan caption lebay. Eh, giliran dapat berita baik malah di swipe karena caption-nya kepanjangan dan bingung mau komentar apa. Entis bahkan sempat curiga kalau admin lambe turah itu adalah seorang politikus yang memiliki minat di bidang entertain tapi tidak punya modal buat beli kosmetik. Entahlah, yang pasti itulah alasan mengapa Entis tidak pernah terlibat dalam pemilihan presiden atau pemilu-pemilu lainnya. Karena yang ia tahu, menjelang musim pemilu para calon pemimpin lakunya menjadi semanis madu alam dan janjinya lebih meyakinkan dari sumpah mantan. Ia muak. Jadi, siapa pun yang menjadi pemenang, ia pasti akan terima selagi tidak ada pelarangan main games di visi-misinya.

Karena sifatnya tersebut, Entis kerap dibilang bodoh oleh teman-temannya.

"Kamu itu bodoh banget, ya. Punya hak pilih tapi gak digunain sama sekali."

"Bodoh banget, sih. Ini tuh menyangkut masa depan negeri kita, tahu."

"Anak muda seharusnya menggunakan hak pilihnya dengan bijak, jangan buta politik!"

"Ih, amit-amit jabang beibeh, jangan sampai anak gue nanti apatis kayak si Entis."

Tapi Entis selalu santai dan tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Mulut netizen memang demikian. Jangan dibalas biar gak makin panjang. Toh kalau bibir lamisnya sudah keram, pasti diam sendiri, pikirnya. Ya, itu strategi para artis menghadapi komentar nyinyir yang sangat patut diterapkan dalam permasalahan ini.

Kendati demikian, Entis tak pernah tinggal diam jika bacotan-bacotan tersebut tak juga berhenti dan malah semakin menghardik. Biasanya ia hanya mengutarakan sebuah jawaban sederhana yang tak kalah bermakna dari quotes-quotes orang ternama. "Siapa yang bodoh? Saya yang tidak peduli sama pilpres, atau kamu yang malah asyik mendebatkan ini itu, padahal belum tentu capresnya mikirin kamu atau mau dijadikan materi debat? Di sini kamu sibuk saling menjatuhkan, sementara di sana capresnya mungkin lagi asyik mantengin dagelan. Siapa yang bodoh?"

Semua mendadak bisu, auto bungkam setiap kali Entis berkata demikian.

***

SIAPA YANG BODOH?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang