Sang Penggoda

210 12 0
                                        

Mas Herman menepati janjinya, dia datang ke kos. Demi kenyamanan, ternyata Mas Herman telah mencarikan sebuah kontrakan. Katanya agar kami lebih bebas daripada di kos. Hari itu juga aku pindah ke rumah kontrakan hadiah dari Mas Herman.

Sebuah rumah kontrakan yang tidak begitu jauh jaraknya dari kos terdahulu. Rumah kecil namun sangat nyaman. Rumah itu bercat biru laut. Sudah terisi semua perkakas rumah lengkap. Ada satu kamar tidur, ruang tamu, ruang tengah, dapur dan kamar mandi. Cukup nyaman untuk kami tinggali berdua. Halaman depan juga ada pohon mangga yang cukup rindang, dengan pot-pot bunga menghiasi depan rumah. Lingkungan kontrakan itu juga bebas. Rata-rata tetangganya cuek dan hidup masing-masing. Sangat cocok untukku yang dengan kehidupan sekarang.

Pindahan ini tidak membuatku lelah. Karena aku hanya menata baju di lemari saja. Lainnya sudah tertata rapi sebelum aku pindah. Mas Herman memang sangat baik dan mengerti apa yang aku inginkan. Setelah beres-beres, kami tiduran di dalam kamar. Pelukan Mas Herman membuat nyaman. Menghilangkan kelelahan.

"Mas, kamu tahu nggak? aku kangen banget." Dalam rengkuhannya kubisikan kata sambil kecup bibirnya.

"Masa?"Mas Herman mencolek aku manja.

"Iiih Mas, beneran tahu," jawabku manja.

"Pasti mau minta duit ya? Atau shopping?"

"Aku nggak minta itu, hanya ingin memadu kasih malam ini."

Kami saling berpandangan dan tersenyum. Dalam pelukan hangat, didinginnya malam. Kucurahkan semua kerinduan, bercumbu di peraduan. Rasanya tak ingin melewatkan satu menitpun bersamanya. Tubuh kami menyatu tak terpisahkan. Hingga pagi hari.

Udara dingin pagi menerobos sela-sela jendela kamar yang terbuka. Ternyata Mas Herman sudah bangun duluan. Ketika aku membuka mata, dia sudah berdiri di tepi ranjang, sambil membelai mesra rambutku. Aku yang masih malas bangun tersenyum memandangnya, sebuah lumatan bibir tiba-tiba mendarat. Sangat membuat gairah ini kembali memuncak. Kami mengulang bercinta dengan penuh gelora.

Rasa lelah tadi malam terhapus sudah dengan sentuhan-sentuhan kasih sayang dan buaian manja. Setelah puas memadu kasih, kami mandi, Aliran air shower membuat kami lebih segar. Gurauan, cubitan mesra mewarnai kebersamaan kami. Kini kami sudah duduk bersama di ruang tengah. Aku merebahkan tubuh dalam pangkuan Mas Herman. Kesempatan untuk berbincang dengannya.

"Mas... kapan kamu tinggalkan keluarga dan nikahin aku?" tanyaku lirih. Dia masih asyik dengan rokoknya. Seakan tidak mendengar.

"Maas!" Suaraku lebih keras.

"Sabar ... kita nikmati saja kebersamaan kita," jawabnya.

"Mas , aku ingin miliki dirimu seutuhnya."

"Sudahlah sayang, jangan bahas itu dulu, masih kurang semalam?" jawabnya. Matanya memgerling, bagai kegenitan.

Mas Herman bikin bete. Aku mesti sabar. Lelaki memang egois, terkadang tidak pernah memikirkan perasaan wanitanya. Sebagai wanita ke dua memang inilah resiko yang harus aku tanggung. Tiba-tiba Mas Herman berdiri, mengambil dompet. Aku lihat dia mengeluarkan beberapa lembar uang.

"Sita, ini untukmu!" Mas Herman memberiku beberapa lembar uang ratusan ribu.

"Kok cuma satu juta Mas?"

"Nanti aku transfer lagi, buru-buru mau metting nanti telat," ucapnya padaku. Kemudian dia berdiri meninggalkan aku sendiri. Bersiap-siap pergi, menuju tempat metting.

Mas Herman selalu begitu, setiap di tanya kapan akan menikahiku, pasti dialihkan dengan kata yang lain. Kini dia sudah menghilang bersama mobil sport putih miliknya. Aku masih duduk di ruang tengah dengan raut muka jengkel. Kuraih ponsel, untuk menghubungi Mbah Suryo. Beberapa saat setelah tersambung aku sudah memberondonginya dengan pertanyaan.

Muara CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang