TtS (Tiga)

80 9 1
                                    

 "Sudah aku bilang aku tidak mau! Tolong jangan paksa aku, Appa."

Jibeom Menentang keinginan ayahnya untuk kesekian kali. Ayahnya selalu mendesak Jibeom untuk kuliah di luar negeri. Jibeom sama sekali tak punya hasrat untuk memenuhi keinginan ayahnya itu.

"Sayang sekali dengan IQ mu itu kau hanya menjadi seorang artis, kau harusnya bisa lebih dari itu. Kau bisa saja merintis perusahaan sendiri, atau menjadi jaksa seperti Appa-mu ini,"

"Aku akan menentukan jalanku sendiri. Kalau akhirnya aku gagal, aku akan tetap mencari jalanku sendiri," yakin Jibeom, tak sedikitpun tersirat keraguan di wajahnya.

"Kau ini anak keras kepala, memang apa bagusnya musik, hah? Apa dengan musik kau bisa hidup?"

"Tentu saja, aku akan tunjukan padamu bagaimana cara kerja musik menghasilkan uang." Jibeom makin tertantang untuk menunjukan bahwa jalan yang ia pilih tidaklah salah. Musik bukanlah hal yang buruk. Dengan musik bisa membuat orang bahagia, dengan musik juga bisa menghasilkan uang, dan Jibeom yakin dia akan sukses dalam bidang ini.

 "Aku berharap Sohee  tidak mengikuti jejakmu," ayah Jibeom sedikit mengalah. Sudah ia duga, bahwa dia tidak bisa mengubah jalan pikiran anaknya itu. Satu-satunya yang bisa dia harapkan hanya adik Jibeom yaitu Sohee .

"Benar, jangan biarkan Sohee  seperti aku. Dia tidak punya bakat apapun dalam seni." Setelah mengatakan itu, Jibeom langsung pergi dari hadapan ayahnya. Kalau sudah seperti ini Jibeom ingin keluar menghirup udara segar. Jibeom tak habis pikir, ayahnya masih tak menyerah menyuruhnya belajar ke luar negeri. "Benar-benar membuat kesal saja. Lihat saja, aku akan jadi seniman sukses di negara ini."

Dan di sini lah Jibeom sekarang, di tempat penyebrangan pejalan kaki. Dia berjalan-jalan tak tentu arah dengan hati kesalnya. Lampu tanda menyeberang telah menyala, namun Jibeom masih enggan melangkah bersama penyeberang yang lainnya. Raganya memang di sini, tapi pikirannya melayang entah kemana.

"Kalau terjadi sesuatu padaku, apakah Appa akan melakukan apa yang aku mau?" terbersit di benak Jibeom tentang hal-hal yang buruk, namun sedetik kemudian dia bergidik ngeri. Ia tak berani membayangkan hal buruk sedikitpun terjadi padanya.

Lampu tanda menyeberang telah berkedip, itu tandanya Jibeom harus segera menyeberang sebelum lampu itu berubah warna. Jibeom melangkahkan kakinya untuk menyeberang. Namun sial! Lampunya telah berganti dengan cepat. Lengkingan klakson terdengar nyaring di telinga Jibeom. Dan Jibeom seketika kehilangan kesadarannya.

"Ya Tuhan, bagaimana ini? Hey nak bangunlah!" seseorang yang menabrak Jibeom terlihat panik, lalu kemudian membawa Jibeom ke rumah sakit.

"Nak, kau baik-baik saja?" khawatir seorang pemuda paruh baya dengan penampilan yang tak seperti orang kaya. Dia adalah orang yang menabrak Jibeom.

Jibeom mengerjapkan mata dari tidur paksa nya, atau bisa disebut pingsan. Jibeom melihat sekeliling. Benar, dirinya kini ada di rumah sakit, tapi dengan fasilitas yang sederhana. Jelas sekali ini bukan ruang VIP.

"Nak, kau mendengarku? Kelihatannya kau anak orang kaya, tapi karena kau tak membawa kartu identitas jadi aku tak bisa menghubungi orangtuamu. Lagipula kenapa kau pingsan lama sekali, padahal sepeda motorku hanya mengenai ujung kakimu. Aku rasa itu tak menyebabkan luka serius." papar orang tersebut.

Jibeom yang mendengar hal itu kembali mengingat-ingat kejadian sebelumnya. Benar, sepeda motor orang itu memang tak membuat luka serius, tapi kenapa dirinya pingsan? Ataukah dia shock? Apapun itu, Jibeom kini tengah merasa malu. Walaupun begitu, Jibeom tetaplah korban bukan? Jibeom ingin sekali mengutuk orangtua ini, tapi dirinya masih malas bicara.

Touch the StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang