"Lompat lagi, Raka! " teriak satu ruangan menyemangati, para guru tak kalah bersemangat berteriak untuk tim basket sekolah.Saat ini sedang berlangsung lomba basket antar SMA se-kabupaten.
"Si nakal itu ternyata punya banyak fans tak kusangka. " ucapku heran. Aku ikut duduk di bangku penonton disamping sahabatku, Sinta.
"Ema! semangati aku." teriak Raka dari lapangan.
"Apa? Dia sudah gila. " seruku terkejut. Sekejap satu ruangan menatapku tajam dan iri.
Raka mengilap menjulurkan lidah, mengejek pastinya. Aku memilih meninggalkan ruangan basket. Aku berlari ke taman pojok sekolah yang jarang dilewati siswa, ku lihat jam tangan di pergelangan tangan, jam menunjuk angka sepuluh pagi.
"Sepuluh menit lagi pertandingan basketnya selesai. " gumamku menyenderkan badanku di bangku taman.
"Ema! " teriak Sinta berlari menghampiriku, dia mencibir kesal lalu ikut duduk disampingku.
"Cepat sekali larimu, aku sampai kehabisan napas." Sinta mengatur napasnya.
"Kamu aja yang jarang olahraga." ejekku, untuk kedua kalinya dia mencibir kesal. Aku memejamkan mataku, mencoba mengambil napas panjang.
"Ema!" teriak seseorang.
Suara seseorang yang sangat familiar memutus napas panjangku. Aku membuka mata, Raka berhenti mengatur napasnya, dia masih memakai baju basketnya.
"Udah selesai? " heranku.
"Karena sahabat kerenmu ini mencetak skor tertinggi, harusnya kamu bangga punya sahabat yang kerennya kebangetan ini. " jelasnya congkak.
"Sahabat kita ini bisanya pamer aja. " ucap Sinta, aku mengangguk sangat setuju.
"Mungkin setelah ini dia dikerubungi sama banyak perempuan." ucapku.
"Dikerebungi sama kalian aja sudah cukup." ucap Raka jahil.
Mendengar ucapnya barusan, aku dan Sinta hampir muntah.
"Enggak,enggak. Kalian itu gampang dibohongi aja. " Raka tertawa menggeleng-gelengkan kepala.
"Jadi lapar aku, dengar ucapan Raka barusan,"
"Ke kantin yuk!" ajak Sinta.
........................................................................
Kring... Kring...
Pelajaran ke tiga dimulai, kali ini pelajaran pak Wawan, seni budaya.
"Teman-teman, Pak Wawan izin tidak mengajar. Kalian dapat tugas untuk mencari sejarah tari tradisional indonesia, boleh cari dari internet dan buku perpus. " ucap Anwil, ketua kelasku.
Aku berdiri memilih pergi ke perpustakaan . Aku mulai mencari buku sejarah dari satu rak ke rak yang lain.
"Loh, Raka, aku kira kamu di lab komputer." ujarku. Langkah ku terhenti melihat Raka duduk tak beralas diantara banyak buku.
Raka tak menjawab, dia sibuk menbalik-balik lembaran buku. Entah karena apa, aku tertawa dengan sendirinya. Raka menoleh, merasa terganggu.
"Ada apa? " tanyanya keheranan.
"Tiba-tiba saja aku ingat saat kita masih kelas tiga SD. Waktu itu sehari sebelum ujian, kamu itu rajin banget belajar. Istirahat, kamu pasti langsung pergi perpustakaan di sekolah,"
"Eh, ternyata salah pelajaran. Seharusnya matematika, kamu belajarnya ips. " jelasku panjang sambil menahan tawaku.
"Dan nilaimu tiga puluh lima!" tambahku, tawaku keras.

KAMU SEDANG MEMBACA
Perasaan yang Terbenam
Ficção AdolescenteRaka Budi Wijaya. Seorang laki-laki yang selalu ku harap. Perasaan ini menyiksaku, terlalu malu untuk mengungkapkannya dan serasa fatamorgana bagiku. terlalu lama memendam,seolah perasaan ini dipaksa terbenam dari hatiku. . . . . . the first story b...