34. la vie en rose

4.2K 432 69
                                    

Noora

Mungkin sekarang menangis adalah hal yang melelahkan dan percuma. Menangisi Noah juga adalah hal yang menyebalkan.

Setelah perkataannya yang pedas dan menusuk hati itu, dia kembali melamun dan sesekali meneguk alkoholnya. Dia juga masih acuh, membiarkanku berdiri menatapnya yang terlihat seperti berada di dalam keterpurukan.

"Sampai kapan kau mau jadi penganggu?" Sindir Noah lagi dengan suara paraunya.

Tanpa pikir panjang aku langsung berjalan kearahnya, menarik gelas yang berada pada genggaman Noah begitu saja. Noah sempat membelalakan matanya, antara terkejut serta tidak terima aku langsung merebut gelasnya begitu saja.

Aku kemudian meneguk setengah dari alkohol itu dan terbatuk ketika merasakan pahit dan rasa panas yang mengaliri tenggorokanku. "Sampai kapan aku mau jadi penganggu, kau bilang? Selamanya! Selamanya aku akan menganggu hidupmu, berada di sekitarmu dan membuatmu muak hingga kau meninggalkan segala kebiasaan burukmu ini!"

"Tidak usah ikut campur."

"Aku harus ikut campur!" Sentakku frustasi. Tanpa sadar air mataku kembali menetes. "Bukankah semua sudah jelas, Noah? Bukankah sudah jelas jika Annabeth meninggalkanmu dengan pamit, bahkan dia pamit padamu dengan kata-kata yang baik sebelum dia meninggalkan dunia ini."

Noah tidak berkata-kata lagi, dia menundukkan kepalanya dan meremas rambutnya.

"Apa yang kurang, Noah? Apa lagi yang membuatmu seperti ini?" Lirihku.

"Kau tidak tahu rasanya memperjuangkan dan kemudian di tinggalkan, Noora." Jawab Noah, suaranya makin parau. "Aku selalu melindunginya, mencarinya ketika dia meninggalkanku begitu saja, merawatnya ketika dia koma sampai dia sadar dan aku memupuk harapan untuk hidup bahagia bersamanya."

"Tapi seharusnya kau juga tahu jika kehidupan bahagia bersamaku di dunia ini tidak ada yang kekal, Noah."

Noah perlahan menaikkan pandangannya dan terdiam ketika merasakan ada sesuatu yang janggal.

***

Noah

Mataku seketika makin terasa panas dan buramnya air mata yang menggenang di pelupuk mataku malah seperti menimbulkan halusinasi—aku seperti melihat Ann di hadapanku, padahal seharusnya dihadapanku adalah Noora.

Aku mengerjapkan mata, membiarkan air mataku jatuh begitu saja membasahi pipi. Tatapan mataku makin jelas dan aku kembali melihat Noora dihadapanku.

Namun sudah tidak ada tangisan lagi atau wajah marah dirinya, melainkan Noora yang sudah tersenyum selembut senyuman milik Annabeth. Seketika hal ini membuatku mengingat tentang cerita mereka berdua yang pernah bilang jika arwah Ann merasuki tubuh Noora.

"Apakah hal ini terjadi lagi?" Tanyaku lirih. "Ann, kau kah yang berdiri dihadapanku?"

Tanpa banyak kata-kata, tubuh Noora langsung memelukku dan sekelebat aku mencium aroma parfum yang biasa dipakai Ann. Membuatku makin terisak dan memeluk tubuh Noora.

"Aku merindukanmu, Ann. Aku benar-benar merindukanmu."

"Kau tidak boleh menyiksa dirimu seperti ini, Noah." Dari nada dan cara bicara Noora saja sudah berubah menjadi cara bicara Ann.

"Aku tidak berhalusinasi, bukan?" Aku melepaskan pelukan kami dan menangkup kedua pipinya. "Aku memang menatap mata Noora, tapi ini kau 'kan, Ann?"

THE NOT PERFECT NOORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang