Rendy POV
Tombol klakson kutekan berkali-kali saat ada orang yang menghambat laju motorku sampai mereka memaki-maki kesal. Seharusnya pagi ini aku yang lebih kesal. Sudah kupastikan kelasku sudah masuk sejak 3 menit yang lalu.
Lina pasti sengaja membiarkanku bangun telat agar dia bisa membalaskan kedongkolannya kepadaku akibat kejadian tadi malam. Belum lagi ponselku yang Lina sembunyikan entah di mana dan baru dia kembalikan setelah tadi pagi aku uring-uringan mencari ponsel. Dan setelah ku-cek ponsel yang ternyata ada notifikasi dari grup What'sApp kalau hari ini ada kelas pagi, aku menjadi semakin geram sendiri. Kalau saja pagi ini tidak diadakan kelas pagi, sudah aku balas kekurangajarnnya Lina kepadaku.
Ah, lampu merah!
Arrgghh! Kekesalanku seperti naik ke ubun-ubun. Sabar, sabar. Setelah 5 menit lampu merah, akhirnya lampu hijau menyala. Segera kutarik gas kuat-kuat, tak mengacuhkan makian orang lain karena kupingku sudah terlalu panas.
Shitttt!!
Kontan aku menarik dan menginjak rem secara spontanitas. Kubelokkan stang ke arah kiri. Persis di depanku seorang bocah mengenakan seragam SD yang hampir saja aku tabrak, sekarang sedang mencoba merangkak berdiri dengan wajah kaget sekaligus ketakutan. Walaupun aku yakin seratus persen kalau tak sedikit pun motorku menyenggol bocah itu, tapi instingku langsung merangsang kalau dia terjatuh karena keget.
Ya Tuhan, anak siapa sih ini?
Cepat-cepat kustandarkan motor di samping trotoar dan melepas helm.
"Dik, apanya yang luka?" tanyaku sambil membantunya berdiri. Dia menoleh, wajahnya terlihat pucat. Kuseret dia untuk menepi ke samping motor.
"Maafin Kakak, ya. Kamu nggak apa-apa, 'kan?" tanyaku lagi sambil mengecek tangannya. Dia menggeleng, mulutnya terbuka sambil mengatakan suara lirih, "Aku nggak apa, Kak." Rambutnya yang terlihat pirang dengan kepang yang rapi membuat tanganku terangkat untuk mengelusnya.
"Ibu kamu emang ke mana?"
Dia tidak menjawab. Bau bedaknya tercium lembut ke hidungku. Kuamati wajahnya lekat-lekat. Warna rambut dan wajahnya seperti familier di kepalaku. Aku seperti pernah melihat anak ini, tapi di mana?
Kulongok jam di tangan, 06. 37. Kepalaku berputar mengarah ke sekeliling. Sudah mulai banyak anak SD yang berlalau lalang menuju ke pintu gerbang sekolah yang jaraknya sekitar 60 meter dari tempatku sekarang.
"Ya udah kalau nggak pa-pa. Kakak minta maaf. Kakak buru-buru. Baik-baik, yaa. Kakak pergi dulu." Sebelum aku kembali berpacu di jalan raya, kuelus rambut pirangnya sekali lagi.
••••
Telat 15 menit! Mau jadi apa aku nanti sampai di kelas? Bu Riris pasti sudah siap menghukumku dengan amunisinya.
"Assallamu---"
"Berhenti di situ kamu!" sebelum kedua kakiku berhasil menginjak lantai kelas, Bu Riris sudah mengeluarkan ultimatum. Mata kupejamkan, tanda pasrah pada keadaan. Sial! Cara Bu Riris menatapku memang benar-benar mengerikan.
"Kemarin kan Ibu sudah kasih informasi lewat mikrofon kalau jamnya Ibu masuk pagi, kupingmu itu ditaruh di mana, hah?!" tangannya yang memegang spidol terangkat, menunjuk ke wajahku.
"Maaf, Bu, tadi saya bangun kesiangan. Lupa kalau masuk kelas pagi." Aku menjawab sekadarnya. Diam-diam kulongokkan kepala ke dalam kelas. Bhanu dan Deva sedang menonton aku yang sedang diintimidasi. Kuberi kode kepada mereka lewat ekspresi wajah agar mau membantuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara [On Going✔]
Teen FictionDefinisi "aksara" dalam bentuk rasa. "Kamu pasti tahu kalau hubungan tanpa rasa saling percaya itu nggak akan bertahan lama," kata laki-laki yang rambutnya sudah beruban satu-dua. Rendy kalut. Apalagi ketika dia mendengar ucapan papanya itu. •••••••...