Casie POV
"C-14."
Gerakan tanganku yang sedang menggarisi buku paket praktis terhenti ketika nomor absenku dipanggil. Segera aku bangkit menuju depan kelas untuk mengambil buku paket yang sedang dibagikan. Aku kembali ke tempat duduk setelah menerima dan menandatangani buku, lalu aku kembali disibukkan dengan mengarisbawahi buku paket.
Keadaan kelas yang cukup berisik membuatku memilih menekuri buku dan menyumpal telinga dengan earphone. Teman kelasku sibuk membicarakan Hannah yang baru pulang dari California (masalahnya bukan itu, sih, karena Hannah sudah biasa pulang-pergi dari luar negeri), namun hal yang menjadi topik utama adalah postingan-nya di Instagram. Keyra yang berada di bangku barisan barat juga ikut menganga ketika melihat Hannah berfoto dengan salah satu personil group band Why Don't We (siapa juga yang tidak kenal group band kondang Hollywood itu?).
"Heh, kamu yang naruh lem di bangkuku, 'kan?" seseorang menendang kursiku hingga membuatku berjengit kaget. Hannah berdiri di sampingku dengan tatapan menyala. Lisi yang berada di sebelahku juga ikut menoleh. Kutatap wajahnya heran.
"Apa, sih? Nggak usah nuduh-nuduh nggak jelas gitu, deh!" Lisi berdiri.
"Emangnya hidupku cuma buat urusin orang kayak kamu?" tanyaku sarkasme. Aku ikut berdiri. Enak saja dia menuduhku tanpa bukti begitu. Terlalu buang-buang waktu sekali untuk melakuakan hal yang unfaedah seperti itu.
"Nggak usah coba cari pembenaran, deh! Kalau nggak suka aku di sini, ngomong langsung aja. Nggak usah jail begini!" suara Hannah mengeras, membuat teman-teman kelasku menoleh. Diamatinya kami bertiga yang saling menatap nyalang. Dua teman Hannah menghampiri kami (tepatnya menghampiri Hannah).
"Kalian berdua pasti kongkalikong!" seru Lovi seraya menyejajari Hannah. Aku menganga tidak percaya. Teman-teman kelasku hanya memandang kami sambil geleng-geleng kepala lantaran mereka sudah terbiasa dengan kelakuan kami berenam setiap ada masalah.
"Ngada-adanya nggak usah kayak sinetron drama! Kalian pasti cuma mau cari sensasi doang." Keyra tiba-tiba muncul dari samping Lisi, membelaku. Senyum di bibir Reisya tersungging miring. Tatapannya mencemooh.
"Di kelas ini cuma kalian bertiga yang suka ribut sama kita!" bentakan keras keluar dari mulut Hannah. Emosinya tersulut.
"Kamu---"
Perkataan Hannah kontan terhenti begitu seseorang melemparkan bolpoin ke arah kami dan berhasil memantul ke meja hingga membuat suara klontengan keras.
"Bisa diem nggak kalain?! Kalau mau ribut, sana di lapangan sekalian!" Nara, ketua kelas yang sedang mengurusi buku paket di depan kelas memberi peringatan dengan nada yang bisa di dengar seluruh penghuni kelas ini.
"Kalian bertiga cepat kembali ke bangku masing-masing." Telunjuk Nara terarah kepada Hannah bersama dua cum suis-nya yang langsung membuat mereka bertiga gondok.
"Kalian juga sama! Duduk di bangku masing-masing!" Arah telunjuknya berganti ke arahku dan kedua temanku, "kalau masih nggak mau diem, aku bakal seret kalian ke lapangan sekarang juga."
Kata-kata terakhir Nara benar-benar tidak bisa dibantah. Di sini, kami semua tahu bagaimana nekatnya Nara kalau sudah naik tensi.
Hannah dan kameradnya membubarkan diri dengan menyimpan kedongkolan. Kuembuskan napas berat seraya mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Ada-ada saja, ya, Tuhan. Walaupun aku sering bertengkar karena hal sepele dengan Hannah, tapi aku belum pernah melakukan aksi seperti itu, paling maksimal hanya adu mulut dengan sepaneng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara [On Going✔]
Teen FictionDefinisi "aksara" dalam bentuk rasa. "Kamu pasti tahu kalau hubungan tanpa rasa saling percaya itu nggak akan bertahan lama," kata laki-laki yang rambutnya sudah beruban satu-dua. Rendy kalut. Apalagi ketika dia mendengar ucapan papanya itu. •••••••...