Rendy POV
Kalau aku tahu yang menyiramku dari atas kemarin adalah Casie, tidak mungkin aku marah-marah seperti itu. Tapi, yang aku herankan, dia kemarin langsung sembunyi ketika aku mendongak. Kupikir itu bukan Casie.
Tadi, sewaktu aku sedang berjalan di koridor dengan buru-buru setelah kuketahui bahwa bel masuk sebentar lagi berbunyi, aku tidak sengaja berpapasan dengan dia yang juga sendirian. Dia terlihat gugup, lalu setelah aku dan dia mengangguk dan sama-sama menyunggingkan senyum, dia berucap,
"Ren, mmm ... kemarin yang nyiram kamu itu aku. Tapi aku nggak sengaja, sumpah! Aku nggak tahu kalau kamu ada di bawah. Aku juga nggak niat buat kamu malu di depan Kak Fello sama teman-temannya."
Aku diam sebentar setelah dia berhenti berkata. Wajahnya seperti menunggu jawaban kalau aku mau memaafkannya atau tidak. Entah ada angin dari mana (mungikin dari Arab), secercah ide muncul dari otakku.
"Aku mau maafin, tapi ada syaratnya," kataku kemudian.
"Hah? Berarti nggak ikhlas dong maafinnya." Wajahnya terlihat heran.
"Eh, ikhlas, tahu. Pokoknya aku ikhlas kalau kamu mau makan bareng di kantin nanti kalau istirahat."
Wajahnya yang terlihat heran, tambah semakin heran sekaligus agak tidak terima, Tapi, sebelum dia kembali protes, seseorang memanggilnya dari arah belakang, yang kemudian aku ketahui kalau yang memanggilnya adalah Lisi.
"Cas, buruan masuk! Pak Gondo udah di dekat ruang komputer." Casie serta-merta menoleh, dan sebelum dia menjawab syaratku, dia langsung balik badan dan berlari tergesa-gesa.
Brakkk!!
"RENDY!!"
Aku terlonjak kaget mendengar suara gebrakan keras tepat di depanku. Pak Narko memukul meja menggunakan penghapus papan tulis.
"Apa bahasa latinnya cecak?" tanyanya dengan mata melotot.
"Tachyadromus seclineatus, Pak," jawabku spontan. Mata Pak Narko semakin melotot mengerikan. Aduh! Aku langsung menepuk jidat mampus. Karena kespontanitasanku tadi, aku jadi keliru menjawab, beliau tanyanya cecak, aku jawabnya kadal.
"Kamu, ya, sembrono sekali jadi murid. Kalau guru sedang menerangkan itu didengarkan. Di-de-ngar-kan! Paham kamu?!"
Aku mengangguk cepat. Kemarin aku kena omel Bu Riris, sekarang Pak Narko. Mereka menyalahkanku, lalu aku meyalahkan siapa? Baru kali ini aku mendapat 2 kali teguran keras dari guru karena sebelumnya aku adalah siswa yang dikenal tertib dan disiplin.
Deva yang duduk di sebelahku memalingkan wajah ke samping. Kutebak dia sedang menahan tawanya agar tidak sampai berderai. Siswi yang duduk di belakangku juga kudengar cekak-cekikik melihat aku dimarahi seperti ini.
"Maju dan hafalkan seluruh nama latin hewan reptil!"
Bergegas aku berdiri sambil menyambar buku sebelum mata Pak Narko copot gara-gara memelototiku seperti itu.
••••
Kuketukkan jari berkali-kali ke meja. Aku menunggu dengan resah. Kupandangi pintu kantin berkali-kali, berharap Casie muncul di tengah riuh-rendah siswa yang ingin mengisi perut, sampai Deva mengganggu konsentrasiku yang sedang menunggu Casie.
"Eh, itu si Gustri pacarnya Lisi bukan, sih?" Deva mengarahkan telunjuknya ke arah meja yang paling timur. Kupicingkan mata sebelah agar dapat kuamati objek secara jelas.
"Waah, iya. Ckckck. Ketahuan sama Lisi abis dia!" Berani-beraninya dia berkelakuan seperti itu di kantin kelas pacarnya. Kutafsirkan dia cowok buaya ampun-ampunan. Aku bisa mengetahui itu karena aku laki-laki, dan laki-laki memakai rasio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara [On Going✔]
Teen FictionDefinisi "aksara" dalam bentuk rasa. "Kamu pasti tahu kalau hubungan tanpa rasa saling percaya itu nggak akan bertahan lama," kata laki-laki yang rambutnya sudah beruban satu-dua. Rendy kalut. Apalagi ketika dia mendengar ucapan papanya itu. •••••••...