Casie POV
Aku masih belum percaya pada kejadian di parkiran tadi. Mimpikah? Entahlah. Rasanya aneh saja bagiku kalau aku dan Rendy sudah menyandang status sebagai pacar. Aku seperti sedang berkelana ke dunia fantasi yang ada di novel-novel yang suka aku baca. Sebenarnya tadi Rendy mengajakku untuk berkencan, namun aku menolaknya lantaran aku sudah ada janji untuk menemani Aretha membeli buku.
Baru kusadari dari tadi aku berjalan sendiri. Langkahku terhenti menyadari Retha sudah tidak ada di sampingku. Duh, ke mana sih dia? Aku celingukan mencari sosoknya yang entah di mana. Mal ini sangat luas, baru kali ini aku pergi dengan Retha yang kemudian dia pergi entah ke mana.
Oh ya! Dahiku kutepuk, baru kuingat kalau dari tadi dia minta dibelikan es krim dulu, tapi aku menyemayani-nya nanti.
"Mungkin masih di sekitar sini." Kalau Retha tidak ketemu, masalahnya pasti akan ribet. Kulangkahkan tungkai menuju kedai-kedai es krim terdekat dengan awas. Kedai yang pertama kutemui banyak anak kecil, namu aku tidak melihat Retha sama sekali. Perasaanku semakin tidak karuan, mengingat hari kian sore, kian banyak pengunjung yang datang, apalagi hari seperti ini. Kedai kedua sudah ku-cek ke sana-kemari, lagi-lagi hasilnya nihil. Keringatku mulai berekskresi dari dahi. Sampai kedai ketiga kukunjungi pun hasilnya tetap sama; nihil.
Mataku memicing begitu melihat anak kecil dengan rambut dikepang ke atas, sedang berdiri di dekat toko boneka yang dipajang di etalase transparan. Buru-buru aku berlari ke arahnya. Tidak salah lagi.
"Aretha!" aku berteriak dari jarak beberapa meter. Dia menoleh, langkahku melambat. Untung ketemu. Kubuang napas lega.
Kuajak dia makan es krim di kedai terdekat. Kekhawatiranku masih tersisa walaupun Retha sudah ketemu.
"You make me worried, Bae." Aku memandangnya intens. Dia tidak berani menatapku, kepalanya menunduk, memandangi kakinya.
"I'am so sorry. Please forgive me." Kali ini dia mendongak. Wajahnya terlihat bersalah. Aku menimbang jawaban.
"Hmm ... sure." Setelah mendengar jawabanku, wajahnya berubah ceria. Pelayan datang membawa pesanan. Setelah itu kami khidmat memakan es krim yang menyentuh lidah, dan meninggalkan topik tadi.
"Enak nggak es krimnya?" tanyaku di sela-sela makan es krim. Bibirnya celemotan setelah menjilati es krim yang diletakkan di contong.
"Enak. Sayangnya yang rasa cokelat udah abis." Retha mengangguk mantap sambil mengelap sudut bibirnya dengan punggung tangan. Fokusku mendadak teralihkan melihat orang-orang berkerumun. Tidak jauh dari tempatku duduk, terdengar suara gaduh yang menyita perhatian khalayak. Samar-samar aku dengar salah satu orang meminta perhatian, dan dalam beberapa detik kerumunan itu bubar. Tinggallah 3 orang yang masih berdebat. Satu perempuan, dua laki-laki. Perempuan itu memaki-maki kesal laki-laki di depannya sambil menunjuk barang bawaannya. Begitu aku melihat lelaki yang habis dimaki pergi, aku nyaris tersedak es krimku.
Rendy.
Praktis aku melambaikan tangan seraya memanggilnya. Dia menoleh ke arahku, lalu dia menarik perempuan yang bersamanya. Mungkin itu Lina, adik Rendy yang Lisi pernah ceritakan kepadaku. Dia menarik kursi di depanku dengan Lina di depan Retha. Sadar kalau wajah Rendy dan Lina kontradiksi denganku, aku buru-buru mengubah raut wajah.
Lina sepertinya habis menangis, sekitar matanya terlihat basah dan isaknya masih kentara sekali. Sebelum aku membuka mulut, Retha menyerobot cepat,
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara [On Going✔]
Teen FictionDefinisi "aksara" dalam bentuk rasa. "Kamu pasti tahu kalau hubungan tanpa rasa saling percaya itu nggak akan bertahan lama," kata laki-laki yang rambutnya sudah beruban satu-dua. Rendy kalut. Apalagi ketika dia mendengar ucapan papanya itu. •••••••...